Take a Smile - Part. 1

Wednesday, October 10, 2012

TAKE A SMILE
~part. 1~

Sekolah ini, telah menjadi saksi cerita cintaku dengannya. Gedung yang tidak terlalu besar ini merekam kenangan bagaimana aku dan dia bisa berjuang melawan cinta yang terjalin diantara kami. Gedung ini telah merekam kenangan kami... dari semenjak awal aku dan dia menginjak gedung ini, sampai meninggalkan jejak untuk menggapai masa depan.

Kala itu... pada saat upacara penerimaan murid baru, itulah pertama kali aku melihatnya. Ia berbeda dari siswa lainnya, itulah pikiranku saat pertama kali bertemu dengannya. Matanya yang sayu, dan kulitnya yang pucat, benar-benar terlalu rapuh untuk menjadi seorang lelaki sepertiku. Dan entah ini takdir atau apa, dia duduk sebangku denganku selama tiga tahun aku bersekolah di gedung ini.

Ada sebuah pepatah, Witing Tresno Jalaran Soko Kulino. Atau dalam bahasa Indonesianya, “Cinta tumbuh karena terbiasa”. Itulah yang terjadi antara aku dan dia. Tidak perduli jika kami ini "sama", karena cinta itu tumbuh karena terbiasa. Kami terbiasa duduk bersebelahan. Kami terbiasa saling bercanda. Kami terbiasa saling menolong. Kami terbiasa saling menghibur. Itulah kami. Terbiasa bersama... dalam keadaan apapun.

Ada sesuatu yang membuatku betah berada disisinya. Sesuatu, yang tak pernah lepas dari wajahnya.... yaitu senyumnya. Maka dari itu, hal segila apapun, hal sekonyol apapun, akan ku lakukan demi menjaga senyumnya itu, agar tak terlepas dari wajahnya yang lembut. 

Semuanya begitu indah.... sampai pada akhirnya, setelah hari kelulusan kami, aku tak pernah lagi mendapatkan keberadaannya. No handphone yang tidak aktif, Account jejaring sosial yang sudah ditututup, rumah yang sudah pindah, dan teman-temannya yang tak mau memberitahuku dimana keberadaannya. 

Dua tahun sudah tak ada kabar darinya, dan dua tahun sudah aku menunggunya diruangan yang sama... disaat aku pertama kali bertemu dengannya. Menduduki sebuah bangku yang telah menemani kami menimba ilmu. Dan kuraba ukiran nama yang terdapat di meja kami. 

Kenapa? Kenapa hanya dia yang mampu bertahan dan menari-menari di pikiranku? Berkali-kali aku mencoba untuk menampilkan sosok yang lain, tetapi selalu saja gagal. Sering aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku bisa bertahan dengan cinta yang telah jelas meninggalkanku untuk alasan yang tidak jelas? Cinta memang benar-benar membuatku seperti orang bodoh. Mencintai seorang lelaki.... yang mungkin saja saat ini sedang bersama wanita lain. 


krek... 

Tiba-tiba saja, terdengar sepasang langkah kaki seseorang. Dan saat aku menoleh kebelakang, kutemukan sepasang bola mata berwarna coklat redup, dan senyum yang telah kurindakan selama 2 tahun. 
"Alvin?" ujarku terkejut.

Benarkah ini dia? Apa aku sudah mulai gila sehingga dapat berhalusinasi yang seperti kenyataan? Tidak. Ini benar-benar dia. Seseorang yang selalu membuatku merasa berbeda, konyol, dan gila. 

Akupun beranjak dari bangku, dan segera menghampirinya. Aku ingin memeluknya. Membelai rambutnya, dan juga wajahnya... sudah lama aku merindukan aromanya.

"Apa yang kau lakukan? Kau sudah gila?"

Kali ini terdengar lagi suara dari arah belakangku, suara seorang perempuan... yang sangat familiar. Perlahan ku alihkan pandanganku menuju wanita itu. Ah, ternyata dia.... teman dekatnya Alvin, semasa sekolah dulu.

"Fen, coba lihat... akhirnya Alvin pulang," ujarku dengan senyuman yang lebar. Namun wanita  yang bernama Feni itu hanya mengeriutkan wajahnya. 

"Ris, sadarlah. Tak ada lagi orang lain disini selain aku dan kamu..." jawab wanita itu sambil menatapku iba. Kembali kulihat kesamping, namun lelaki itu sudah tidak ada. 

Tidak... tidak lagi. Ini sudah yang keberapa kali? Apa aku benar-benar akan dikirimkan kerumah sakit jiwa?

Ku hembuskan nafas panjang, "Kamu tahu keberadaannya kan, Fen?" tanyaku. Wanita berambut pendek itu gelisah mendengar pertanyaanku. "Sekali saja... kumohon sekali saja, aku ingin bertemu dengannya, ku mohon...." pintaku kembali.

wanita itu tampak berpikir sebentar. Entah apa yang salah dari diriku, sehingga Alvin tak mau bertemu denganku. Dan menyuruh teman-temannya untuk bungkam mengenai keberadaannya. 

"Baiklah," ucap wanita itu. "Walaupun Alvin akan membenciku karena memberitahu keadaannya, tapi aku juga tak tega melihatmu seperti ini..." lanjutnya kemudian.

Akupun tersenyum. Akhirnya aku bertemu lagi dengannya... Bertemu dengan dirinya yang asli, bukan sebuah foto, kenangan, ataupun khayalan. 

"Tapi kemungkinan, kau akan menyesal bertemu dengannya... Mungkin memang lebih baik kalau kau melupakannya..." ujar Feni dengan sendu.

"Apa dia sudah menjalin hubungan dengan orang lain?" tanyaku to-the-point. Dan Feni menjawab bukan. "Lalu apa?" tanyaku lagi. Feni menatapku sebentar, dia kembali menghembuskan nafasnya.
"Nothing. Ayo cepat, kita pergi," ucap Feni sambil berlalu dari pandanganku. Akupun mengikutinya, dengan perasaan yang sangat bahagia.

***
 Hari ini lagi-lagi kuhabiskan dengan membaca buku. Namun sayangnya, aku tak bisa berkonsentrasi untuk mendalami bacaan tersebut. Pikiranku hanya tertuju dengan seseorang, yang telah mengisi hidupku selama tiga tahun. Ingin rasanya aku mencabut selang-selang yang berisi cairan ini, dan segera bertemu dengannya. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa bertemu dengannya dengan kondisiku yang seperti ini.

"Hei, vin. Gimana keadaanmu?" 

Aku terpanjat kaget.

Wanita yang baru saja menegurku tertawa kecil. "Maaf ya, aku gak bermaksud ngagetin kamu lho...." ucapnya. Baru saja aku mau membalas sapaan temanku itu, tak lama muncul sesosok lelaki berparas tampan yang masuk ke dalam ruangan.

"Alvin?"

Aku terpaku beberapa saat. Dia.... kenapa dia bisa sampai kesini? Apakah ini benar-benar dia? Aku berpikir sesaat, apa karena tadi aku sedang memikirkannya maka sekarang aku sedang  berimajinasi? Tapi, sosok dan suaranya itu.... terlihat sangat nyata. Aku mendongak dan mendapati dirinya yang sekarang sudah berada di depanku. 

"Hei, Riski..." kusapa dia dengan senyuman. Mencoba menggapai tangannya yang kini berada diatas selimutku. Dan aku bisa menyentuhnya. Dia benar-benar nyata. Dia membungkukan tubuhnya, dan menenggelamkan kepalanya di kedua tanganku. Dia menggenggamnya sangat erat... persis ketika dulu disaat aku membuatnya khawatir.  

"Maaf Alvin, aku tidak bisa menjalankan amanatmu..." ujar Feni dengan pelan. "Uhm, aku.. aku keluar dulu sebentar. Mau cari makan dulu, sampai nanti..." lanjutnya dan langsung bergegas keluar ruangan. Feni... dia benar-benar sahabat yang baik. Sangat baik. Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti dia. Dia tahu kalau aku berbohong. Bohong kalau aku benar-benar bisa bahagia tanpa dia, lelaki yang kini sedang menggenggam kedua tanganku. 

"Riski, ayolah... jangan menunduk seperti ini." sapaku sambil tetap menahan air mataku. "Hei, nanti kalau kamu gak bangun. Kalau aku muntah gimana? Kan bisa kena kamu..." 

Pria itu terkekeh pelan, dan akhrnya mendongakan wajahnya... memperlihatkan kedua bola matanya yang tajam. "Jika hal itu terjadi, nanti kamu yang bayar laundrynya ya..." Akupun tertawa menanggapi kalimat konyolnya. 

Tuhan, maafkan aku. Sepertinya aku masih mencintai Pria ini. Mungkin sampai detik terakhir hidupku, aku akan tetap mencintainya.

"Apa yang sebenarnya terjadi padamu, vin?" aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya. 

"Aku sakit..." jawabku singkat.

"Iya aku tahu kamu sakit, tapi sakit apa?" tanyanya kembali. "Dari kapan, vin? Kenapa kamu gak pernah cerita?" suaranya kini terdengar serak.  


Ada alasan, kenapa aku tak mau memberitahu keadaan ini ke dia. Pertama, aku tidak mau dikasihani. Dan kedua, aku ingin dia menjalani hidup yang normal. Menjalani hidup layaknya lelaki normal. Menikah, mempunyai istri yang cantik, dan keluarga yang bahagia. Bukan dengan seorang lelaki yang tengah berjuang melawan kanker otak semenjak kecil.
Aku tak bisa berkata apapun lagi. Sudah cukup senang aku bisa melihatnya lagi.

"Jangan sedih, vin. Apapun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu," ujarnya sambil mengusap pipiku. Lho? Kenapa aku nangis? 

"Lho? Kenapa ini? Kenapa bisa nangis? aduh, kayaknya ada yang salah sama mataku... Hahaha," sial. Seharusnya aku tak boleh menangis di hadapannya. Aku tak boleh terlihat lemah dihadapannya. Sudah cukup aku menjadi beban hidupnya. 

"Tenang, kau tidak apa-apa..." Riski memeluk tubuhku. Dan membelai rambutku. Hangatnya sama persis ketika aku dan dia masih memakai baju seragam putih-abu-abu. Akupun memeluknya. Dialah satu-satunya alasan, yang mampu membuatku bertahan sampai detik ini. Yang mampu menutupi kelamnya kehidupan, dengan sebuah senyuman. 


To be continued...

 

12 comments:

  1. Unknown said...:

    Ceritanya kya pelm jepang

    Tpi pelm str8

  1. callmespica said...:

    Wah masa?? o.o kita cuman share aja soalnya... lol.

  1. Unknown said...:

    lanjut kakaaaa....
    oe suka cerita macam ni... :3

  1. callmespica said...:

    @brandal: sipp, secepatnya kok kata authornya :3

  1. bayu gentala said...:

    Gak maksud yang mana alvin dan yang mana riski, gak jelas bgd ni cerita. Uhh,paokk

  1. bayu gentala said...:

    Penulisnya karakternya sbgai alvin pa riski sih? Uhh,bikin erosi aja ni penulis

  1. bayu gentala said...:

    Penulisnya karakternya sbgai alvin pa riski sih? Uhh,bikin erosi aja ni penulis

  1. Unknown said...:

    lanjutkan...!!!!1!!! haha

  1. Homo Tunggal said...:

    Hahaha.. bca juga ceritaku teman2.. ada cerita sexy dan romantis di blog ku.. http://khusus-cowok.blogspot.co.id/2016/02/cerita-gay-love-season-episode1.html

  1. Alif Mahfud said...:

    Baca Punyaku juga yah.. bantuin aku biar aku bisa jadi writer juga :) Cerita Gay Khusus Cowok ( http://khusus-cowok.blogspot.co.id ) Love Season Episode 2 'Cerita Gay Romantis Semi' ( http://khusus-cowok.blogspot.co.id/2016/02/love-season-episode-2.html )

  1. Unknown said...:

    baru baca... lanjutannya mana... terharuuuuuu :"(

  1. Unknown said...:

    Iya aku jga nggak ngerti Alvin yg mana Riski yg mna

Post a Comment