Apalah Arti Menunggu part. 3

Friday, July 13, 2012


"Adit! Bagaimana kondisinya? Masih utuh semua kan?" teriak si tuan rumah. Adit serta Faisal langsung tersadar setelah lama mereka saling bertatap-tatapan.

"Masih ku urus boss! Kalian masuk duluan saja, istirahat dulu!" ujar Aditya sambil masih berada di dalam truk.

"Oke!" jawab mereka sambil memasuki rumah besar itu.

Aditya kembali menatap sahabatnya dan berbicara dengan volume suara yang sangat kecil. "Dengar, sekarang kamu turun dari sini! Kamu ngerti gak sih? Tempat ini berbahaya! Ayo cepat turun dan naik ke mobilku yang warna hitam! Nanti aku nyusul!" ujar Aditya dengan nada khawatir. Faisal sempat terdiam melihat reaksi sahabatnya, berbeda jauh dari perkiraannya. "Ngapain bengong? Ayo cepat keluar!" sambung Aditya dengan nada yang nyaris tak terdengar.

Mendengar itu, Faisal dengan perlahan turun dari truk itu dan segera menuju mobil Aditya. Sedangkan lelaki pertubuh tegap itu izin pulang ke boss besarnya dan kembali lagi kemobilnya.

"Kamu tuh kenapa bisa-bisanya berada disana sih!? Kamu tau? Kalau kamu sampai ketauan sama mereka, kamu bisa mampus ditangan mereka tau! Coba kalau gak ada aku, nasib kamu gimana? Hah!?" Faisal terdiam mendengar sahabatnya mengoceh.

"Sebenarnya... Semenjak aku pertama kali menginjakkan kaki disini, aku sudah dengar banyak kabar tentangmu. Terutama tentang bisnis ilegal yang tengah kau jalankan... Itu bisa membuatmu jatuh di dalam gerigi besi! Kamu masih ingat kan, Dit? Dulu kita benar-benar benci sama preman-preman yang melawan rakyat lemah seperti kita dulu! Apalagi dengan obat-obatan terlarang... Benda itu akan menghancurkan kampung kita, Dit! Ingat janji kita? Bukankah kita akan membangun kampung kita bersama!?" kini Aditya lah yang terdiam mendengar ocehan sahabatnya. Pria bertubuh tegap itu mencoba menenangkan emosinya.

"Sudahlah, tak usah diperpanjang lagi. Ini sudah takdirku..." ujar Aditya mencoba untuk menyelesaikan persoalan.

"Yang seperti ini bukan takdir namanya! Dit, dengerin aku! Kamu masih bisa berubah dengan cara memilih jalan yang benar!" Aditya hanya melenggos tidak menjawab dan juga tidak membantah ucapan Faisal. Diraihnya setoples permen dan dibuka penutupnya.

"Ayo, makan permennya..." tawarnya mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sampai Faisal turun dari mobilnya Aditya, pembicaraan itu terputus begitu saja. Disisi lain, bisnis Adit berjalan agak tersendat semenjak orang-orang mulai mendirikan koperasi nelayan dan bersama-sama menjual ikan ke kota. Keadaan itu membuat anak buahnya Adit resah. Terutama karena pendatang itu dilindungi bos mereka, yaitu Aditya sendiri. Beberapa kali mereka minta izin untuk memberesi Faisal yang dianggap mengganggu bisnis mereka.

"Dengar kalian semua! Aku tidak mau mendengar kalian menyentuhnya, walaupun hanya seujung jaripun!" ancam Aditya membuat mereka kembali surut. Namun sayang, nafsu kebencian mereka tak surut begitu saja. Justru karena terhalang, nafsu membunuh mereka semakin menggebu-gebu. Beberapa anak buah Aditya datang ke kota untuk melaporkan hal tersebut pada boss besar mereka.

"Baiklah, masalah ini dapat aku tangani. Pulanglah!" ujar sang boss besar. Dia mengenal sifat Aditya dan kehebatannya dalam memimpin bisnisnya, makanya ia sangat percaya pada Adit. Begitu juga mengenai hubungan Adit dengan Faisal di masa lalu. Ia sangat paham mengapa Aditya begitu keras melindungi sahabatnya itu. "Tapi aku harus memperingatinya, jangan sampai ia terhanyut masa lalu sehingga membawa bisnis ke jurang kehancuran!" gumamnya sendiri.

Lalu pada suatu malam, Faisal kembali masuk diam-diam ke dalam gudang. Tetapi baru saja ia menginjakkan kaki, terdengar seseorang yang tengah berbicara.

"Akhirnya kau tertangkap, orang kota sialan!" ucap Toni, salah satu anak buahnya Aditya. "Kau akan mengalami malam teramat panjang, bung!" sambungnya kembali dengan nada yang gembira.

Lima preman langsung mengepung tubuh Faisal. Pukulan beruntunpun diterima oleh Faisal dari Toni dan lainnya. Disusul dengan tendangan keras di tungkai kakinya. Tubuhnya yang kurus diringkus dan diikat dalam gudang. Beberapa kali ia memuntahkan darah segar dan tidak sanggup menahan sakit sehingga pingsan. Anak buah Aditya tidak mau melihatnya beristirahat sejenak. Mereka menyiapkan seember air lalu disiram ketubuh Faisal agar ia bangun. Kembali ia menerima siksaan yang serupa. Tubuhnya lunglai tak bertenaga, seakan seluruh tulang-tulang dalam dagingnya dicabut keluar. Anak buah Adit berpesta meriah malam itu. Melampiaskan kebencian mereka selama ini.

Pagi hari telah datang. Cahaya matahari menyilaukan kedua mata Faisal. Seluruh tubuhnya meninggalkan bekas cambukan, pukulan, tendangan, bahkan ada sulutan api rokok. Bibirnya kering pecah-pecah merasakan kehausan. Ia coba menggerakkan tangan untuk melepaskan ikatan. Namun ternyata tubuhnya telah lepas dari lilitan tali.

"Sudah bangun? Lukanya masih sakit?" tanya seorang Pria yang tengah duduk disampingnya. Faisal melirik kearah sumber suara, seraut wajah yang dikenalnya membuatnya sedikit kaget. Ternyata ada Aditya yang semalaman ini memberantas anak buahnya sendiri sampai mereka terkapar tak berdaya.

"Sudah ku bilang kan? Jangan ikut campur urusanku! Sekarang aku masih bisa menolongmu, tapi nanti aku tidak tahu. Kau tahu? Kau telah merusak bisnisku di daerah ini. Membuatku mendapat peringatan dari atasanku. Makanya, dihari lain aku mungkin tak bisa menolongmu. Bahkan menjadi musuh besarmu! Cepat pergi dari sini! Kembali ke kotamu itu!" ucapnya dengan nada yang kasar. Namun yang dilakukan Faisal hanyalah memegang erat baju Aditya. Dia meringis kesakitan, namun ia ingin mengucapkan sesuatu.

"Tidak... Aku tak mau pergi..." ujar Faisal dengan susah payah. "Aku ingin menyadarkanmu, dan baru kita pergi dari tempat ini. Dengarkan aku... Bisnis... Bisnismu ini... Telah dicurigai oleh pemerintah. Kau terancam terjatuh dalam gerigi besi itu! Kumohon, Aditya... Ikutlah denganku!" ajak Faisal sambil terus mencengram baju Aditya. Namun Aditya melepaskan genggaman Faisal dan berdiri untuk melangkah keluar gudang. Pria tinggi itu melangkah tanpa menghiraukan panggilan Faisal, dia meninggalkan Faisal begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Hatinya kecewa melihat kekerasan hati Aditya. Haruskah aku menggiring sahabatku sendiri ke gerigi besi? Tanyanya dalam hati setiba di kamar sewaan. Dikeluarkannya kartu identitas kepolisian dari dalam dompet. Kembali ia mengeluh.

Seakan diputar kembali di depan matanya sebulan lewat saat ia menghadap komandan, dan diserahi tugas membekuk kawanan penyelundup miras dan obat-obatan terlarang di kampung Teratak.

"Berdasarkan file di tangan kami, Letnan orang yang tepat untuk tigas ini. Anda berasal dari daerah sasaran, tentunya lebih mengenal lokasi dan dapat bergerak bebas!" ucap komandannya saat itu.

Selama berhari-hari Faisal mempertimbangkan tugas beratnya. Ia tahu sasaran operasi mereka adalah Aditya. Sahabatnya sendiri. Kebimbangan melanda dirinya. Sampai akhirnya ia menyanggupi tugas itu, asalkan ia diberi kesempatan untuk menyadarkan Aditya. Nyatanya keinginan Faisal tidak dipercayai. Ia harus menyaksikan penangkapan Aditya pada hari itu.

Diraih telepon di atas meja dan ditekan sederetan nomor. "Lapor! Semua telah siap! Sasaran tepat di depan mata!" lapornya pada pasukannya.

Anak buah Aditya kelabakan ketika mendapat serangan mendadak dari kepolisian di markas mereka. Tergesa-gesa mereka menyelamatkan diri. Letupan senjata api berkumandang di udara. Perlawanan sengit dilakukan oleh anak buah Aditya dan anak buah Faisal. Tembak menembak tidak terelakkan. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Sirene meraung di sepanjang jalan, menerobos di sela-sela rumah penduduk.

Hingga akhirnya, Aditya datang berhadapan dengan Faisal.

"Jangan bergerak!" bentak Faisal sambil menodongkan senjata apinya ke kepala Aditya. Pria berbadan tegap itu tersenyum kecil.

"Jika aku mati ditanganmu, aku rela... Bunuhlah aku sekarang," ujar Aditya sambil menggenggam erat tangan Faisal yang tengah memegang pistolnya. "Tunggu apa lagi? Ayo, bunuh aku..." sambungnya pelan.

Kedua sahabat itu saling berpandang-pandangan. Menyesali putaran waktu sebagai penyebab semua kekacauan ini. Lintasan cerita masa lalu terlihat di depan mata. Faisal menurunkan pistolnya, ia tak sanggup menahan kepedihan hatinya. Ia jatuhkan senjatanya kelantai semen, dan memeluk erat sahabatnya itu. Dalam pelukan Adit, Faisal menangis tertahan... Nyaris tak terdengar. Adityapun membalas pelukan Faisal. Mereka seakan tidak memperdulikan salakan senapan dan hentakkan kaki melarikan diri di sekitar mereka.

Tiba-tiba saja Aditya tertegun. Matanya melihat ke ujung laras senjata Toni yang mengarah pada punggung Faisal. Dadanya berdegup kencang dan ia bergerak cepat menukar posisi sebelum senjata itu meletus dan melukai seseorang yang sangat disayanginya.

Sesuatu yang panas menjalar dalam tubuhnya. Ia tidak bisa menahan kepalanya yang berputar. Tubuhnya bergetar hebat. Rahangnya gemelutuk. Terasa sesuatu yang pedar merambat ke seluruh urat nadi. Pandangannya mulai kabur, hanya terlihat bayangan Faisal yang membalas tembakan Toni dan sesosok tubuh limbung, jatuh terkapar di lantai.

Inikah akhir dari sebuah penantiannya?
Jadi, apalah artinya ia menunggu selama 10 tahun jika ia hanya bisa melihatnya dalam waktu tiga hari saja? Apakah Aditya menyesalinya?

Jawabannya adalah tidak.

"Jika ini adalah hari terakhirku, aku bersyukur.... Setidaknya aku bisa tertidur dengan tenang di atas pangkuan orang yang aku sayangi, melebihi diriku sendiri..." ujar Aditya dalam hatinya sembari menahan sakit.

"Kenapa... Kenapa kau selalu melindungiku? Kau bilang sendiri padaku... Kalau kau tak akan melindungiku lagi, kan!?" ucap Faisal terisak sambil merangkul Aditya dengan lemas.

Aditya hanya tersenyum lemah menanggapinya. Faisal masih mencoba untuk berbicara pada Aditya. "Kau lupa janji kita yang telah disaksikan oleh penguasa laut? Kita akan selamanya bersama kan!? Iya kan!?" sepertinya Aditya ingin membalas ucapan Faisal, namun ia tak mampu. "Kumohon, Dit... Bertahanlah! Sebentar lagi dokter akan datang menyembuhkanmu!" kini suara Faisal semakin terdengar pilu. Air matanya tak bisa ia tahan lagi.

Aditya menatap kedua bola mata sendu milik Faisal. Tangan kanannya mencoba meraih pipi sebelah kanan sahabatnya itu. "Aku janji akan... Mengajakmu..untuk berperahu lagi..seperti.. Dulu..." ujarnya sebelum tubuhnya melonjak sesaat dan akhirnya ia diam.

Debur ombak terdengar perlahan di telinga. Burung camar mencicit lirih menunggu ikan-ikan keluar dari dasar laut. Kampung Teratak terlihat menyayup di ujung mata. Dan Faisal... Ia terus meneriakkan nama sahabatnya itu, berharap kalau dia akan membuka kedua matanya kembali.
-------------------------------
FIN?

Apalah Arti Menunggu part. 2




Pulang kembali ke kampung Teratak membuatnya semakin terpuruk. Banyak hal yang dilihatnya mempengaruhi batin. Kalau dulu ia melihat pohon kelapa, perahu nelayan karam di tengah lautan, dan anak-anak yang berlarian dengan gembira. Namun kini semuanya terlihat beda. Dalam hatinya Faisal timbul pertanyaan; kapan semua penduduk memiliki WC sendiri? Kapan mereka mengecap pendidikan sehingga tidak bodoh lagi dipermainkan oleh para preman? Kapan mereka menikmati hidup yang layak?

Setiap langkah Faisal membuatnya sangat khawatir dengan keadaan kampungnya. Siang hari Faisal berkeliling pantai dan mendatangi rumah penduduk. Mencoba untuk membuka pikiran orang-orang untuk berubah supaya tidak bisa dibodohi lagi.

"Maaf Bung, Anda dilarang mendekati tempat ini!" ucap seorang pemuda yang tak lain adalah anak buahnya Adit. Faisal menghentikan langkahnya mendekati perahu-perahu para nelayan yang baru saja mendarat.

Faisal pura-pura bodoh. "Lho? Kenapa? Bukannya ini pantai umum? Setahu saya tempat ini bebas dilewati oleh semua kalangan. Atau telah ada seseorang yang membeli seluruh pantai di kampung ini?" ejeknya yang membuat panas telinga para preman itu.

"Oh, rupanya kau adalah orang kota yang tak mengerti daerah ini ya," hardik salah seorang dari mereka. Dipandanginya sosok Faisal dari kepala sampai ke kaki seperti seorang pedagang yang tengah menafsir harga. "Dengar ya, bos pasti gak seneng ngeliat kamu berkeliaran menganggu daerah kami! Cepat tinggalkan tempat ini, atau..." jarinya melingkar dileher memperagakan pencekikan. Faisal hanya tertawa masam mendengar ancaman itu.

"Aduh, aku takut sekali..." ucapnya dengan nada yang mengejek. Melihat Faisal yang sok takut, mereka menjadi sakit hati. Mereka mengelilingi Faisal dan siap untuk menyerang.

"ADA APA INI!?" teriak seorang Pria bertubuh tegap dari jauh dan segera menghampiri mereka. Si empunya suara berdiri tegak di tengah mereka. Ia terdiam melihat seorang laki-laki berpakaian rapih yang ada di hadapannya.

Saat ini, dua pasang mata saling memandang tercengang. Dua wajah yang saling berhadapan dengan berbagai perasaan.

"Faisal!?" seru Adit dengan gembira. Aditya langsung memeluk Faisal dengan erat, tanpa menghiraukan pandangan aneh dari anak buahnya. Faisalpun tak kalah erat memeluk Aditya. Angin seakan berhenti berhembus untuk beberapa detik. Matahari meredupkan sinarnya, memayungi dua sahabat yang sedang melepas rindu.

"Lama sekali kawan kita tidak bertemu!" ucap Faisal sambil menggenggam erat tangan Adit. Pria bertubuh atletis itu tersenyum membalas genggaman Faisal.

"Sepuluh tahun," ujarnya lirih. "Aku ingin memutar kembali waktu yang berlalu..." sambungnya kemudian.

Mereka lama saling berpandangan, saling menilai penampilan masing-masing. Dalam pandangan Faisal, sahabat yang kini dihadapannya telah jauh berubah. Tubuhnya semakin tinggi dan berbentuk, wajahnya juga semakin tampan. Sorot matanya tajam penuh semangat hidup. Setiap tindakan dan tingkah lakunya mantap penuh percaya diri. Namun, ketika Faisal menatap goresan luka yang berada di pipi kirinya Aditya, senyumnya seketika hilang. Faisal teringat kembali akan kenangan itu, namun ia segera melupakannya kembali.

"Wah, ternyata kau sudah menjadi orang sukses ya!" sanjung Adit pada Faisal. Diliriknya label kemeja yang dikenakan oleh Faisal. Tatanan rambutnya juga mengikuti mode masa kini. Menampilkan sosok Pria Metrosexual, hal itu yang tergambarkan pada diri Faisal.

Faisal tersenyum kecil mendengar sanjungan sahabatnya. "Kau terlalu berlebihan ah, lihat dirimu... Kau lebih hebat dari pada aku! Bisnismu besar dan sukses disini. Tidak sebanding denganku yang masih dibawah pimpinan orang lain..." ucap Faisal merendah.

Keduanya kembali terdiam, berada dalam kekakuan. Cukup lama keadaan tersebut berlangsung. Aditya tak mampu mengucapkan sebuah kata lagi karena masih shock dengan kedatangan Faisal yang tiba-tiba. Sedangkan anak buahnya Aditya menahan tawa karena melihat bossnya yang tengah salah tingkah, namun mereka langsung berhenti tersenyum ketika Adit menatap mereka dengan tatapan tajamnya.

"Uhm, sebaiknya aku pergi... Kelihatannya kau lagi sibuk," ucap lelaki berkemeja putih itu.

Aditya terkejut dengan kalimat Faisal, dia tidak tahu dengan apa yang harus dikatakannya sekarang. Entah mengapa, pertemuan mereka tidak seperti yang dibayangkan oleh Aditya. Rasanya seperti dua laki-laki asing yang tidak mengenal satu sama lain. Padahal selama sepuluh tahun ini Aditya selalu saja menantikan sosok sahabatnya itu.

"Ja-jangan pergi dulu! Aku... Aku lagi gak sibuk kok," ucap Adit dengan sedikit grogi. Faisal menatap sahabatnya itu dengan lekat, sedangkan Adit hanya menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal.

"Benarkah!? Kalau gitu, gimana kalau kita keliling pantai? Kau mau?" tanya Faisal dengan senyuman lebarnya.

"Dengan senang hati!" balas Aditya sambil merangkul sahabatnya itu, mencoba mencairkan kebekuan diantara mereka. Faisal dan Adit pun langsung melangkah bersama meninggalkan anak buahnya Aditya yang masih kebingungan karena melihat tingkah bossnya itu.

"Hah~ anginnya kencang banget ya hari ini!" ucap Faisal sambil menggeliat. Aditya tersenyum kecil melihat sahabat kecilnya ini.

"Sangat baik untuk melaut," ujar Adit pelan. Kedua bola matanya menerawang jauh ke ujung pantai. "Masih ingat gak waktu kita kecil dulu, kita kan menangkap ikan yang penuhnya seperahu..."

Faisal menaikkan salah satu alisnya. "Tentu saja aku ingat! Kau mendapatkan ikan besar dan dipuji banyak orang kan?" ujarnya. Mereka tenggelam dalam kenangan masa lalu. Saling mengorek peristiwa yang mereka alami bersama. Senyum bermain dibibir kedua lelaki itu. Bahkan, kopi diatas meja pun dibiarkan dingin karena mereka tak menyentuhnya.

"Mengapa baru sekarang kau kembali, Fai?" tanya Adit tiba-tiba. Faisal menatap sahabatnya dengan perasaan campur aduk, tapi belum lama ia memandangi sahabatnya dia langsung memalingkan wajahnya kembali.

"Baru saat ini aku bisa kembali," ucapnya. "Apa menurutmu aku tidak tersiksa dengan kerinduan pada tempat ini? Jujur, sudah lama aku ingin kembali!" sambungnya dengan berapi-api.

Adit menengadah menatap pada sahabatnya. "Jadi tempat ini yang kau rindukan? Bukan aku?" tanya Adit dengan nada pelan. Faisal tak mampu mengeluarkan suaranya, ia hanya bisa menatap Adit dengan tatapan sedih. "Kau tahu? Ketika kau memilih pergi ke kota untuk kuliah dan meninggalkan kota ini, aku menjadi sendirian. Tidak punya siapapun lagi. Aku sendirian tinggal di lingkungan yang keras ini," keluh Adit membuka pengalaman hidupnya. Ia mengambil sebatang rokok dari sakunya, dan dihisap penuh kenikmatan.

"Aku masih ingat, hari itu aku benar-benar sedang diuji. Rumahku yang kecil terbakar habis entah karena apa. Semua harta bendaku, entah yang berupa materi maupun kenangan... Semuanya hilang. Aku sudah tak mempunyai apapun, bahkan uang sepeserpun aku tak punya. Seandainya kau ada disampingku waktu itu, pasti aku tak merasa kehilangan apapun..." Adit melayangkan matanya terarah ke Faisal.

"Dimana kamu saat aku sedang membutuhkanmu? Ah, pasti kamu sedang enak-enaknya makan, atau sedang menggoda gadis-gadis kota kan..." cercanya. Faisal menjadi risih mendengar cercaan dari sahabatnya itu.

"Cukup, Dit! Aku gak seperti itu! Apa kamu benar-benar memandangku seperti itu?" balas Faisal dengan wajah yang kecewa. Adit menjadi merasa bersalah karena dia telah mengatakan kalimat yang membuat sahabatnya menjadi sakit hati.

Dia merangkul bahu Faisal. "Maafkan aku..." ujarnya lemah. Sejujurnya, Aditya hanya takut kehilangan Faisal. Dia hanya ingin menyampaikan sesuatu ke Faisal, kalau ia rela kehilangan apa saja kecuali ada Faisal disampingnya. "Sekarang lupakan semua itu. Ayo, kita jalan-jalan lagi melihat pantai!" ajak Aditya mengalihkan pembicaraan.

Matahari mulai membenamkan dirinya dibawah lautan. Namun, kedua lelaki itu masih semangat mengitari sekitar Pantai. Mereka melangkah kesuatu tempat disudut pantai.

"Masih adakah bekas upacara janji yang dulu pernah kita lakukan?" tanya Faisal sambil merendahkan tubuhnya menatap pasir.

"Rasanya baru kemarin ya kita berkumpul disini," ujar Adit termangu. "Lima tetes darah kita menyatu diatas pasir ini. Menandakan bahwa kita tak akan pernah berpisah..."

Faisal tersenyum lebar dan langsung merangkul Pria yang ada disebelahnya. "Kau benar! Bahkan takdirpun tak mampu untuk memisahkan kita!" ucapnya dengan tulus.

"Ah, maaf..." pamit Faisal menjauh dari Adit ketika telpon genggamnya tengah berbunyi, ia mengangkat telpon itu. Selang beberapa detik, Faisal kembali menghampiri sahabatnya. "Maaf, Dit. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan... Besok aku pasti menemui mu lagi kok!" sambung Faisal sambil berlari kecil menjauhi Aditya.

Aditya masih mematung di tempat, memandangi sahabatnya yang hilang dikelokan jalan. Napas berat terdengar ditarik Adit.

Ditengah perjalanan ke markas tempatnya bekerja, terdengar sebuah alunan lagu yang muncul dari Radio salah satu rumah.

Telah lama aku bertahan
Demi cinta wujudkan sebuah harapan
Namun kurasa cukup ku menunggu
Semua rasa telah hilang

Sekarang aku tersadar
Cinta yang kutunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu?

Tidak. Perasaan ini belum hilang dari lubuk hatinya Aditya. Dia sendiri yang janji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan terus menyimpan perasaan ini. Penantian yang selama ini ia tunggu-tunggu, tak mau ia sia-siakan begitu saja.
***
"Adakah masalah lagi?" tanya Adit kepara anak buahnya.

"Begini bos..." anak buahnya terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu, tangannya berulang kali mengusap kepalanya. Adit tetap tenang menanti laporan dari anak buahnya. "Begini... Orang kota itu sering mendekati perahu-perahu kita. Ia juga ingin tahu banyak dan menyelidiki kegiatan kita. Apa perlu dibereskan?"

Kedua mata Aditya terbuka lebar dan menyorot tajam kearah anak buahnya. "Jangan coba-coba kalian mengganggu orang kota itu! Dia urusan saya. PAHAM!?" anak buahnya cepat-cepat mengangguk.

Adit segera mengakhiri kunjungannya dan melanjutkan ketempat lain untuk menjalankan bisnisnya. Dimalam hari, ia tengah bertransaksi dengan pengguna narkoba ataupun miras di tempat hiburan, bilyard, tempat judi, kedai minuman, dan tempat underground lainnya. Dia tak takut kalau dirinya akan masuk kedalam penjara, karena selama ini ia mempunyai perlindungan dari oknum-oknum aparat keamanan yang setiap bulannya diberi uang pelicin. Aditya merupakan boss di daerah pantai, namun ia juga mempunyai seorang boss besar di kota lain.

Selang beberapa jam setelah Aditya selesai dari pekerjaannya, ia kembali kerumahnya dan memakirkan truknya di gudang. Tanpa disadari olehnya bahwa Faisal membuntutinya dari tadi. Lelaki berkulit putih itu membuka pintu belakang kendaraan dengan seutas kawat maling. Pemuda itu masuk ke dalam truk dan menutup pintu rapat-rapat. Dilihatnya tumpukan peti-peti kedap udara memenuhi ruangan. Faisal mendekati dan berusaha membuka tutup peti kemudian mengeluarkan isinya.

"Benar dugaanku, truk ini membawa barang-barang terlarang!" serunya tertahan. Lama ia termangu kurang percaya dengan temuannya. Hingga didengar suara tida orang laki-laki mendekati truk. Setelah mengembalikan peti pada tempatnya semula, Faisal mencari tempat persembunyian dibelakang tumpukan peti-peti.

"Lho? Kok gemboknya belum dikunci?" tanya salah satu dari mereka. Mereka bertiga memperhatikan gembok tersebut.

Laki-laki bersuara berat membuka pintu truk dan melongok ke dalam. "Kurasa kau saja yang lupa mengunci!" ujarnya setelah melihat peti-peti tersusun rapi tiada berkurang sedikitpun. Gemboknya mereka kunci kembali. Beberapa saat kemudian, kendaraan itu telah meninggalkan kampung Teratak. Tubuh Faisal terguncang-guncang karena jalanan yang dilaluinya berbatu-batu dan berlubang. Ia harus menahan napas agar kehadirannya tidak diketahui.

Akhirnya, kendaraan telah berhenti ke tempat tujuan. Truk itu diberhentikan disebuah rumah besar. Tiga laki-laki tersebut keluar dari dalam kendaraan menemui dua orang Pria yang tengah menyambut mereka. Kelima lelaki itu terlibat dalam sebuah pembicaraan yang serius sambil meneliti isi map yang dibawa oleh anak buah Aditya.

Faisal mengenal salah satu pemilik suara dari kelima Pria itu. Suara yang sangat ia kenali... Suara itu adalah milik Aditya!

Aditya disuruh mengecek barang bawaan yang ada di truk. Pintu belakang truk terkuak. Pria berparas tampan itu melompat ke dalam truk dan menghitung jumlah tumpukan peti. Tubuh Faisal bergetar kecemasan, menginsut jauh ke dalam untuk menyembunyikan tubuhnya. Namun... Tanpa sengaja kakinya menginjak sebuah botol bekas air mineral.

Glek. Faisal tertegun melihat kebodohannya itu.

Aditya langsung menggeserkan peti-peti yang menyembunyikan Faisal. Dan ketika semua peti telah ia singkirkan, terlihatlah seorang lelaki bertubuh sedang tengah meringkuk dipojokkan sana. Dengan wajah yang sangat pucat.

"Faisal...?" tegur Aditya terkejut.
-----------------------------------------

To be continued....

Apalah Arti Menunggu part. 1



Matahari semakin meninggi dan cahayanya menyusuri permukaan laut. Bila matahari makin tinggi, maka laut akan memantulkan cahaya itu ke mata para nelayan di tengah lautan yang terus mendayung. Tali-tali pancing terikat kencang, menanti ikan-ikan datang mendekat. Mendatangkan harapan di hati nelayan untuk membawakan nafkah agar bisa membiayai keluarganya. Pemandangan itulah yang terasa mengikat dan menarik Faisal untuk pulang.

Telah dua jam pemuda berkulit putih ini menikmati kesibukan penghuni pantai Teratak. Menikmati dan mengenang suasana yang pernah ia rasakan dalam sepuluh tahun silam. Helaan nafas pelan meluncur dari bibir merahnya. Lelaki itu kembali mencicipi Kopi Susunya.

"Tambah ramai saja tempat ini," gumam lelaki itu dengan senyuman tipisnya.

"Maklumlah Mas, namanya saja kampung nelayan. Setiap harinya pasti selalu padat. Apalagi banyak penghuni baru yang singgah ke sini. Semakin padat deh daerah ini," sahut si pemilik kedai kopi di pinggiran jalan. Faisal hanya terdiam melamun mendengar ocehan si wanita desa. Pandangannya lurus menatap rumah-rumah kayu tersusun berhimpitan. Gulungan ombak setinggi gunung, perahu-perahu nelayan yang dipermainkan hamparan biru, kapak burung camar yang menukik mengejar mangsa, merupakan lukisan alam yang menjadi santapan matanya sepanjang hari, ketika ia menjadi bagian dari lukisan itu.

"Oh ya! Kamu kenal seseorang yang namanya Aditya? Anaknya pak Umar Khatib?" tanya Faisal tiba-tiba karena ia teringat oleh sahabatnya dimasa lalu. Kampung ini kecil, mungkin saja wanita itu dapat mengetahui keberadaan sahabatnya itu.

"Oh, yang kulitnya kuning langsat, badannya tinggi, tegap, dan ada bekas luka di pipi kirinya?" wanita itu menyebutkan ciri-ciri orang yang ditanya oleh Faisal tadi.

Faisal menganggukkan kepala. "Iya, benar! Apakah dia masih suka berlaut?" tanya Faisal lagi.

"Berlaut? Maksud Mas menjadi Nelayan? Orang sangar kayak dia gak mungkin melakukan hal terpuji seperti itu!" senyum mengejek semakin lebar terlihat dari bibir wanita itu.

"Maksud kamu? Saya nggak ngerti ucapan kamu..." tanya Faisal dengan kebingungan.

Wanita itu menghela nafas sesaat, lalu ia mulai bercerita. Bahwa Aditya yang dimaksud oleh Faisal, adalah penguasa daerah ini. Menguasai para nelayan, memeras dan mempunyai anak buah yang dijadikannya tukang pukul. Bahkan sang Ayah dari wanita itu pernah menjadi korban kekejian Aditya. Perahu satu-satunya yang dimiliki oleh keluarga mereka, dirampas begitu saja oleh anak buahnya Aditya.

Faisal bergidik ngeri mendengar cerita dari pemilik kedai tersebut. Dia tak menyangka bahwa sahabatnya dulu yang baik, bisa menjadi seseorang yang seperti itu. Untuk memastikan, Faisal langsung beranjak dari kedai kecil itu untuk segera menemui sahabatnya.

Ditatapnya lautan yang bergelora. Terlihat perahu-perahu nelayan yang dibuai oleh ombak. Lalu, ia mendengar deru ombak dan menyaksikan dirinya bersama Aditya yang sedang berada diatas perahu milik Aditya. Suasana yang selalu ia jumpai dalam mimpinya selama sepuluh tahun di tanah perantauan.

"Benarkah semua itu hanya mimpi dan kenangan semata?" keluh Faisal yang diselingi oleh angin pantai.
___________________________________________
Pukul setengah sebelas pagi di sudut kampung Teratak. Terdapat beberapa pemuda yang tengah berkumpul membicarakan sesuatu. Ditengah, terdapat seorang Pria yang berbadan tegap dan terlihat tampan tengah mengelus barutan panjang di pipi kirinya. Sedangkan orang-orang yang ada di kiri kanannya menunjukkan sikap hormat.

"Bagaimana hasil hari ini?" tanya Pria yang berada ditengah dengan tatapan tajamnya.

"Sangat bagus, Bos! Kami lihat nelayan-nelayan membawa ikan dalam jumlah yang banyak. Pastilah kita mendapatkan uang berlipat! Lalu ada Soni yang berada di lapangan untuk mengurus uang keamanan. Sedangkan Darman mengadakan transaksi penjualan ikan dengan pembeli dari kota. Terus ada Adi dengan ketiga temannya yang mengurus pengiriman peti-peti minuman untuk pelanggan. Sedangkan putauw belum datang dari pusat, kemungkinan dua hari lagi sampai ditangan perantara. Semuanya aman dan terkendali, Bos!" ujar lelaki yang berada di samping kirinya, nama lelaki itu adalah Ambi.

Bos mereka yang tak lain adalah si Aditya, menarik garis bibirnya sambil mengepulkan asap rokok. "Kerja bagus!" ujarnya dengan suara keras. Adit berdiri dari tempat duduknya dan berjalan memandang anak buahnya satu persatu. Tiap sebentar, dielusnya bekas luka yang ia punya di pipi kanannya. Sebuah luka yang menandakan keperkasaannya melawan pimpinan geng kampung sebelah, membuat orang-orang takut dan hormat pada Adit. Luka itu membuatnya kuat dan tangguh. Namun, ia bisa menjadi seseorang yang kuat bukan karena geng kampung sebelah. Dia merasa kuat, karena dulu lukanya itu ia dapat dari melindungi seseorang yang disayanginya. Dan hal itulah yang bisa membuatnya menjadi kuat.

"Bos, sebenarnya kita mempunyai sedikit masalah..." bisik seorang lelaki berkumis melintang dari sisi kanannya Adit. Lelaki itu mengatakan bahwa beberapa nelayan mulai membengkang, walaupun secara tidak langsung. Para nelayan terlihat enggan menjual ikan-ikannya pada anak buahnya Aditya. Bahkan mereka mendengar bisikkan para nelayan, bahwa mereka ingin menjual hasil tangkapan ikan secara langsung ke kota bahkan mereka berencana membentuk koperasi nelayan.

"Apa kamu tidak dapat mengatasi masalah sepele itu!?" bentak Aditya sambil menggebrak meja ketika mendengar kabar dari salah satu anak buahnya. Semuanya terdiam mendengar Adit yang mengamuk.

Sebenarnya, para Nelayan mendapatkan amanat dari pendatang baru dari kota, yang tak lain adalah Faisal. Lelaki itu memberikan nasihat-nasihat baik agar para nelayan tak akan diinjak-injak oleh siapapun, karena mereka juga mempunyai hak. Hanya saja, pihak Aditya maupun anak buahnya belum mengetahui aksi Faisal.

Sepeninggalan para pemuda dari kamarnya Adit, Pria itu kembali duduk ditempatnya. Ia kembali membelai pipi kanannya dengan mata yang redup. Ada sesuatu yang tergores di dada Adit ketika ia membelai luka itu. Sesuatu yang disebut dengan kerinduan.

Tidak dapat dicegah. Ingatannya tentang masa lalu kembali bermunculan layaknya air yang mengalir. Ia teringat oleh sahabat masa kecilnya, yaitu Faisal. Masa-masa itu adalah masa yang paling indah. Demikian yang selalu ia ucap pada dirinya sendiri. Masa dimana ia dan anak-anak lainnya bebas bermain tanpa memikirkan apapun.

"Andaikan aku bisa kembali pada masa itu..." keluhnya dalam hati sebelum ia mengenang masa-masa indahnya.
___________________________________________
FLASHBACK

Matahari pagi tengah bersinar dengan ceria. Angin laut bertiup lembut dan menenangkan. Dengan perlahan, Adit membuka kedua kelopak matanya dan dilihatnya seorang laki-laki berkulit putih dan berwajah manis. Adit menggeliat malas dan bangkit dari pangkuan lelaki berwajah manis itu.

"Nyenyak sekali tidurmu..." tegur lelaki manis itu pada Adit.

"Hmmm... Paha kamu enak dijadiin bantal sih, hehehe," ledek Adit sambil menguap. Sedangkan yang diledeknya hanya cemberut sambil memalingkan mukanya kearah lain. "Makasih ya Fai, udah mau dijadiin bantal...hehehe," goda Adit lagi sambil merangkul sahabatnya itu. Faisal masih terdiam dan tak mau menatap Adit, mungkin dia kesal karena menunggu Adit tidur selama satu setengah jam.

"Jangan marah dong... Kalau nggak, nanti gak aku ajak kelaut lho malem ini," ancam Adit dengan cengiran khasnya. Ternyata ancamannya Adit berhasil membuat Faisal menatap kedua matanya.

"Nggak mau!! Iya deh, aku nggak ngambek lagi kok! Aku mau ke laut!" seru Faisal dengan semangat yang membara. Adit hanya bisa tertawa mendengar suara lelaki disebelahnya, dia pun tertawa kecil sambil mengelus kepala sahabatnya itu.

Malamnya, mereka mengarungi lautan ditemani oleh dinginnya angin malam dan sinar rembulan yang cerah. Adit menatap jauh di kilauan laut. Dimana terlihat barisan kkeinginannya sejak kecil. Menyelesaikan sekolah hingga SMA, lalu masuk ke akademi pelayaran. Ia akan menjadi pelaut yang tangguh dengan kapal besarnya mengiringi samudera. Seragam taruna melekat di badannya membuat ia bertambah gagah. Lalu ia akan kembali ke rumah, membawa makanan yang enak-enak, pakaian yang bagus-bagus, juga oleh-oleh dari tempat tugasnya untuk kedua orangtuanya.

Tapi, tiba-tiba semua gambar yang nampak di permukaan laut menjadi pudar. Dilihatnya bayangan nyata seorang laki-laki berwajah tampan. Dia hanya mengecap pendidikan sampai kelas dua SMP karena kedua orangtuanya telah meninggal dunia disaat mereka mencari nafkah. Air muka kecewa terlukis diwajah Adit. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan butiran kristal bening dari pelupuk matanya.

Tak lama, seekor burung kecil tampak terbang dari arah utara menuju perahu mereka. Terbang merendah di permukaan air dan sekali-sekali terdengar siulannya. Burung itu hinggap di samping Adit seakan ingin menghibur kepiluan pemuda itu. Tangan kiri Adit terulur hendak menggapainya. Namun sayang, sang burung terkejut dan terbang menjauh hingga lenyap dari pandangan.

Setelah burung kecil itu pergi, lelaki yang berada disebelahnya Adit mulai melantunkan sebuah lagu yang tak mempunyai lirik. Adit tersenyum kecil memandang sahabatnya itu. Walaupun Adit sudah tidak memiliki harta, maupun orang tua... Tetapi ia masih memiliki Faisal, sahabat yang sangat disayanginya.

"Fai, menurutmu... Aku ini bagaimana orangnya?" tanya Adit tiba-tiba. Alunan Faisal berhenti karena mendengar pertanyaan Adit. Ia menundukkan kepalanya, menatap indahnya laut dimalam hari. Rambutnya dipermainkan angin laut yang nakal. Tiap sebentar tangannya memegang rambutnya agar tidak menutupi wajahnya. Adit menjadi gemas melihat sikap sahabatnya itu. Tangannya hampir terulur membelai rambut Faisal, namun ia mengurungkan niatnya itu. Karena ia tahu kalau perbuatannya itu akan dianggap aneh oleh Faisal.

"Hei, kamu belum jawab pertanyaanku..." ujar Adit kembali setelah sekian lamanya membisu.

Faisal tersenyum kecil. "Apa ya? Kamu tuh orangnya ramah, baik hati, setia kawan, terus..." ia memutuskan ucapannya dengan sengaja. Kedua matanya yang lebar menatap wajah Adit dengan sekilas.

"Terus apa? Kalau bicara jangan setengah-setengah dong!" ucap Adit yang terpancing penasaran.

"Ih, kamu tuh ingin dipuji terus ya!" ledek Faisal dengan senyumnya yang semakin mengembang.

Adit semakin terpesona melihat semua gerakan sahabatnya itu. "Daripada kamu, sukanya bikin orang penasaran aja... Ayo cepet lanjutin kata-katamu tadi! Atau nggak aku kelitikin nih!" ancam Adit sambil tersenyum nakal.

"Awas aja kalau berani! Aku bakal lari terus dari kamu!" balas lelaki itu dengan seringainya.

"Kalau kamu lari ya bakalan aku kejar terus!" ujar Adit kembali.

"Kalau aku lari sampai keujung dunia? Apa iya kamu bakal ngejar aku?" tanya Faisal lagi sambil memiringkan kepalanya.

"Pokoknya aku janji, sampai kemanapun juga... Pasti aku bakal nangkep kamu! Jangan remehin aku deh, hehehe," seru Adit dengan antusias. Baginya, ini bukanlah canda gurau biasa. Jika Faisal benar-benar lari darinya, dia akan pastikan bahwa dia akan menangkap Faisal kembali berada disampingnya.

Kedua remaja itu saling memandang satu sama lain. Desah angin terdengar merdu ditelinga mereka. Deru ombak memecah ke Pantai memeriahkan alunan musik di hati Adit. Semuanya terlihat indah dimata Adit, jika dia bersama Faisal.

Hari berikutnya, Adit mendengar kabar buruk tentang Faisal yang tengah dikeroyok oleh geng preman dari desa sebelah. Tanpa basa-basi, ia segera menuju kelokasi dimana Faisal berada. Saat itu, dia tak memikirkan apapun kecuali Faisal. Dia tak mau kehilangan seseorang yang disayanginya lagi.

Disisi lain, Faisal tengah menghadapi preman-preman itu sendirian. Tubuhnya terjatuh, namun ia berusaha bangkit kembali. Serangan Faisal kali ini hanya menemui tempat kosong, membuat tubuhnya goyah. Belum sempat ia memperbaiki posisinya, sebuah pukulan mendarat tepat diperutnya Faisal. Sebuah cairan berwarna merah pun keluar dari mulut Faisal, tubuhnya seketika itu bergetar kuat seperti kehilangan tenaga. Ketika Faisal tumbag kembali, salah seorang Preman mengeluarkan pisau cutternya dan berlari menuju Faisal.

Disaat genting itu, tiba-tiba datanglah seorang lelaki bertubuh tegap yang melindungi Faisal. Siapa lagi kalau bukan Aditya?

"Jangan pernah kalian menyentuhnya lagi! LAWAN AKU SEKARANG!" teriak Adit dengan kerasnya. Faisal hanya bisa menonton Adit yang membabi buta menyerang preman-preman itu. Faisal ingin sekali menghentikan Adit, namun suaranya tak didengar oleh Adit.

Adit semakin buas dan menerkam pimpinan geng yang berdiri tak jauh darinya. Kebuasan serangan Adit terlihat jelas pada kedua kepalan tangannya. Dengan amarah yang meledak-ledak, pukulan dan cakaran Adit mencoba mengenai wajah pimpinan geng itu. Namun hanya sedikit mengelak kesamping, tangan Adit luput mengenai lawan. Ia kembali menyerang walaupun serangannya tadi sedikit melesat, dia tak perduli dengan cutter yang telah ada dalam genggaman lawan. Hingga dirasakannya perih di pipi kanannya terkena sabetan cutter.

Lawannya tersenyum sinis dan memandang Adit enteng. Darah merah segar menyelimuti permukaan pisau pendeknya. Faisal berkali-kali meneriakan nama Adit dan mencoba menenangkan perkelahian mereka... Tapi tetap saja tidak berhasil. Andai saja ia mempunyai tenaga lebih untuk berdiri.

Tubuh Adit kembali mengejang menahan amarah. Perih luka dipipi sebelah kanannya menambah kemarahan pemuda itu. Seperti benteng yang terluka, ia mengamuk dan menyerang. Gemuruh besar tercipta saat pukulan-pukulan dan tendangan Adit mampu menguak dinding pertahanan lawan. Bahkan kedua tangannya mampu mendarat telak di dada pimpinan geng tersebut. Lalu disusul dengan tendangan keras di tempurung lutut. Erangan sakit keluar dari mulut pimpinan geng dari desa sebelah, tubuhnya jatuh tergolek tidak mampu diangkat. Adit bersiap-siap untuk menendang dan menginjak-injak lawannya, namun tiba-tiba saja ada seseorang yang memeluknya dari belakang.

"Hentikan Dit... Nanti dia bisa meninggal! Kamu gak mau kan jadi seorang pembunuh!?" cegah Faisal yang sudah bersusah payah untuk berdiri. Melihat keadaan Faisal, Adit segera mengurungkan niatnya untuk membunuh preman itu.

"Hari ini aku mengampunimu! Tapi ingat, bila suatu saat kamu ganggu dia lagi, aku janji akan memecahkan kepalamu itu!" ancam Adit dengan tatapan tajamnya. Sang lawan tak mampu untuk menjawab perkataan Adit, dia benar-benar dibuat lumpuh oleh Aditya.

Aditya menuntun Faisal untuk berjalan menuju rumahnya. Mungkin semenjak kejadian itu, dia sering sekali merasa takut kehilangan Faisal. Sekali saja Faisal telat menemuinya di tepi pantai, pasti si Adit langsung merasa cemas tak menentu. Hingga suatu malam ketika mereka sedang duduk menatap pantai, Aditya mempunyai sebuah ide.

"Hei, mengapa kita tidak membuat upacara janji yang disaksikan penguasa laut?" tanya Adit dengan senyuman lebarnya. Faisal memandang sahabatnya dengan bingung, namun detik berikutnya ia kembali memperlihatkan senyum manisnya.

"Mengapa tidak? Kurasa itu usul yang paling bagus!" balas Faisal. Merekapun melangkah menatap laut, dan berhenti di pasir pantai yang basah karena buih-buih air laut. Masing-masing mengangkat lengan kanan mereka. Adit menusuk jari telunjuknya dengan belati sampai mengeluarkan darah yang ditetesi ke atas pasir. Kini bergiliran dengan Faisal yang mengikuti hal yang sama seperti Adit. Buih ombak membasahi tetesan darah mereka.

"Kami berjanji, untuk saling membantu dan bekerjasama dalam waktu apapun. Bila kami berpisah tempat dan waktu, maka kami tetap akan kembali ke pantai ini. Membangun kampung kami yang tercinta ini bersama-sama. Darah mengikat janji kami dan buih ombak sebagai saksi," ucap Adit yang diulang kembali oleh Faisal.

Upacara janji selesai. Mereka lalu menggenggam tangan dengan perasaan haru. Saat itu, terdengar suara keras dari hempasan ombak. Mereka serentak menoleh ke arah asal suara itu. Dan untu beberapa detik, Adit menyunggingkan sebuah senyuman. Ia percaya kalau penguasa lautan telah merestui ikrar yang baru saja ia ucapkan bersama Faisal.
___________________________________________
To be continued~

Way to Reach You: Part. 1

 

 

Way to Reach You: Part. 1

Memories One: Freshman Year's

 *****

----------------------------------------------------------------------------
You take a deep breath and
You walk trough the doors
It's the morning of your very first day
And you say hi to your friends

- fifteen by Taylor Swift

----------------------------------------------------------------------------
In Audrey's side

Hey, semuanya! Gimana nih kabar kalian? Pastinya asik dong karena udah mulai masuk dan bertemu temen-temen lagi? Hehehe.

Aku sendiri juga lagi senang. Kenapa? Karena akhirnya aku bisa memasuki ajaran tingkat SMA setelah melewati banyaknya rintangan (baca: MOS dan UN). Rasanya nggak sabar banget buat ketemu sama temen-temen baru!

"Ma, Audrey berangkat dulu ya ma!" ucapku dengan riang sambil mencium tangan ibuku. Ia hanya tertawa kecil dan mengusap rambutku.

"Hati-hati ya nak," begitu pesannya.

"Berangkat dulu ya, tante!" nah, kalau yang barusan bicara itu namanya Rafael! Dia temen aku semenjak SD, awet banget ya? Dari masa SD sampe sekarang, dia nih yang jadi tukang anter jemput aku, hihi. Padahal aku udah nolak, tapi dia tetep aja mau nganterin aku ke sekolah. Terus, dari jaman SD juga kita selalu dapet satu sekolahan! Aneh ya? Haha, bahkan hampir sebagian besar kesempatan kita sekelas mulu. Di kelas X aja, kita sekelas lho! Ajaib banget, hehe.

Ditengah perjalanan ke sekolah, aku dan Rafael tak pernah berhenti mengobrol. Ada saja topik yang kami bicarakan, entah itu tentang MOS, tentang perasaan sebagai anak SMA, mengenang masa-masa SMP, dan sebagainya. Saking asiknya, nggak kerasa waktu 15 menit sudah terlewati, yang artinya kami telah sampai di sekolah baru kami, yaitu SMA 5. Sebenarnya kalau Rafael pakai motor, pasti bisa ditempuh dalam waktu kurang dari tujuh menit, tapi... Karena Rafael peduli sama alam, jadinya dia pakai sepeda deh.

"Rafaaaa, gue deg-degan nih!" ucapku yang sok malu-malu sambil bersembunyi di lengannya Rafael.

"Apaan sih lu Audrey! Bisa-bisa di hari pertama kita masuk, kita udah di gosipin pacaran lagi..." protesnya dengan kesal. Hihi, Rafa... Rafa... Lucu banget dia kalau lagi gini, haha.

"Aha~ iya, iya~! Eh, kelas kita dimana sih?" Rafael menunjukkan kelas X-A dengan jari telunjuknya. Ooh, ternyata kelasnya terletak dekat ruangan guru. Aku dan Rafa segera memasuki kelas kami yang baru dengan semangat!

"Pagiiiii~!" sapaku dan Rafael ke semua temen-temen baru kami di kelas X-A. Wuih, mereka menyambut kami dengan semangat yang menggebu-gebu!

"Rafa, Audrey! Sini, sini, gue udah nyiapin tempat duduk buat lu berdua!" teriak salah satu teman kelas kami yang cowok, sambil menepuk-nepuk tangannya di dua buah meja. Wah, kalau aku nggak salah ingat... Dia kan Denis Rangga Atmaja? Cowok enerjik yang waktu MOS dulu ditunjuk sebagai ketua gugus Orange.

"Enak aja lo, Denis! Audrey sama Rafael kan duduknya di depan gue, udah gua siapin nih! Ayo Drey, Rafa, duduk di sini aja? Oke? Oke?" waah, kalau yang ngomong barusan namanya Cyntia. Salah satu temenku juga, dia cantik... Cuman sayang, cerewetnya itu lho... Hahaha.

"Jangan mau Drey, Rafa! Kalo kalian duduk situ, pasti kalian bakal di ganggu sama Cyntia mulu deh!"

"Bo'ong! Drey, Rafa, kalau kalian duduk di depannya Denis pasti kalian di contekin mulu deh sama si Denis!"

"Jyaaaah, sok tau lo!"

"Lo tuh!"

"Nggak, tapi lu!"

"Elo!"

"Elu!"

"ELO!"

"ELU!"

Dan elo-elu mereka masih berlanjut sampai satu jam kemudian... Nggak deh, maksudnya sampe tiga menitan aja. Rafael cuman bisa geleng-geleng ngeliat mereka berdua, aku juga gitu. Hah... Kalau dua orang ini sudah adu mulut pasti gak ada yang bisa misahin mereka. Biar saja mereka puas dengan kata-kata mesra mereka.

"Drey, kita duduk di pojok deket jendela itu aja yuk?" bisik Rafa tepat ditelingaku. Akupun mengangguk dan mengikutinya yang sudah mau melangkah menuju tempat duduk kami.

"Aku pojok deket jendela!" pintaku.

"Iya, terserah kamu aja deh say," haha, mulai lagi deh candaannya itu. Tapi gak apa-apa deh, toh, kita cuman bercandaan aja pake sayang-sayangan. Maklum, kebiasaan dari SMP, hehe.

"Kyaaaa! Drey, Rafael, kalian kenapa duduk disitu? Padahal aku udah nyiapin tempat khusus buat kalian berdua!"

"Gara-gara lo tuh 'Cyn! Jadi kacau semua! Sukurin!"

"Enak aja! Gara-gara lo tuh!"

"Elu!"

"Elo!"

Yah... Elo-elunya masih belum selesei, mereka tangguh banget yah, haha. Masalah selesai, muncul satu lagi, udah kayak lagu opening Prety Cure aja.

"Drey, Raf! Udah nentuin mau masuk ekskul mana?" tanya salah satu temen sekelas aku, namanya Fajar.

Oh iya ya, aku belum nentuin ekskul apa yang ingin aku masuki. Kalau diliat dari demonya sih... Kayaknya seru-seru semua deh. Kalau waktu SMP dulu aku ikut Paskibra, cuman nggak sampe dua bulan aku keluar, soalnya tubuhku nggak kuat mental. Masa iya aku pilih Paskibra lagi? Gak mungkin kan... Hmm...

"Gue sih kayaknya ikut Basket sama Futsal deh," jawab Rafael dengan cengiran khasnya. Haha, sudah kuduga, pasti dia milih ekskul itu lagi deh. Maklum, dia kan mau tebar pesona sama cewek-cewek, nggak heran kalau dia ikut ekskul yang eksis.

"Serius lo, Raf? Haha, gile aja kalo lo masuk situ. Bisa-bisa lu dikeroyok sampe mampus sama anak-anak cewek!" aku dan Rafael tertawa mendengar guyonan si Fajar. Haha, ada benernya juga dia. "Kalo lu gimana, Drey? Mau masuk ekskul apa lu?" tanya Fajar.

"Gue masih belum tau nih 'Jar, ada saran nggak?" Fajar tampak berpikir menanggapi pertanyaanku.

Teater? Ouch, no way! Aku gak ada bakat buat akting! Dan emang nggak niat masuk ekskul itu. Katanya sih kalau mau masuk ekskul Teater urat malunya harus putus dulu, aku kan pemalu orangnya. Jadi, gak mungkin aku masuk Teater.

KIR? Gak ada niat dengan Fisika, Kimia, dan ilmu alam lainnya. Masuk KIR sama aja kayak belajar... Haha.

Pramuka? Udah bosen sama pramuka... Pasti urusannya tandu lagi tandu lagi. Tali lagi, tali lagi.

Paskibra? Silat? Taekwondo? Kapoera? Nooooo, bisa-bisa aku tepar sebelum sebulan menjalaninya. Nasib karena diberi tubuh yang lemah...

IT? Gak ada minat soal dunia perkomputeran.

Jurnal? Aku suka nulis sih, tapi nggak pede ah kalau masuk Jurnal.

"Ini gak mau, itu gak mau, maunya masuk mana sih lu? Tong sampah?" tanya Fajar dengan nada kesalnya. Hiks, jahat banget...

"Nggak gitu juga kalee, habisnya gue bingung banget 'Jar. Itu ekskulnya udah lu semua sebutin?" Fajar menggeleng untuk menanggapi pertanyaanku.

"Masih ada dua lagi, tapi kayaknya lu gak bakalan tertarik. PMR sama English Club..." jawab Fajar.

Hmm... PMR ya? Kayaknya lumayan deh kalau masuk ekskul itu, tapi gimana ya? Aku sendiri kan sakit-sakitan... Kalau masuk PMR kayaknya gimana gitu. English Club juga kayaknya asik, berhubung Bahasa Inggris adalah pelajaran favouriteku. Oke, kayaknya aku sudah ada keputusan deh.

"Kayaknya gue bakal ikut ekskul English Club deh 'Jar, aha~" Fajar menatapku dengan tatapan tak percaya.

"Serius lo?" tanyanya ragu.

"Serius, why?"

"Gila lo, kalo lu ikut EC, dari segi mananya lu bisa santai?! Adanya tiap hari lu belajar Bahasa Inggris!"

Bener juga sih apa kata Fajar. Tapi kan, kalau kitanya emang udah suka mau gimana lagi? Banyak tugas di EC buat aku gak masalah kok, kan akunya seneng ini, kalau malah nganggep tugas sebagai beban pasti hasilnya nggak bagus. Percuma kan kalau ikut ekskul yang nggak kita sukai? Pasti semua tugas jadi beban.

Mendengar penjelasanku, Fajar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan.

"Hehe, tumben lu milih ekskul yang cocok," ujar Rafael sambil ngacak-ngacakin rambutku. Huh, dasar Rafael! Salah satu kebiasaan dia dari SD: selalu aja ngacak-ngacakin rambutku. Dikiranya rambutku ini apaan? Karena kesal, aku injek aja kakinya aja, eh dianya malah nyengir kayak kuda!

Tak lama, salah satu guru memasuki kelas kami, dan seluruh murid langsung duduk ditempatnya masing-masing. Pertengkaran elo-elu Denis dan Cyntia pun berakhir dengan dramatis, haha. Sungguh pasangan yang aneh.
---
Pulang Sekolah...

Fyuuh, akhirnya bel sudah berdering tiga kali, artinya... Kegiatan belajar hari ini sudah berakhir! Asiiiik!

Sebenarnya, tadi kami belum sempat belajar sih. Baru perkenalan aja, hehe. Kelas X-A asik banget lho, guru-gurunya juga asik. Kayaknya aku betah di dunia baruku ini.

"Drey, jadi daftar ekskul sekarang?" tanya Rafael.

"Yep! Lu juga kan?"

"Iya, tapi ruangan ekskul basket kan dibawah... Jadi..."

"Nggak apa-apa kok, kayak kemana aja, haha! Yaudah, kita pisah ya sekarang?"

"Sip, nanti gue sms lu kalau udah selesei... Hp nya masih nyala kan?"

"Yep, batrenya masih ada tiga. Udah sana, nanti telat masuk diomelin lho, aha~"

"Iya, iya, hahaha. Yaudah ya, bye!"

Setelah keluar dari pintu kelas. Rafael melangkah kearah kiri, sedangkan aku kearah kanan. Wow, kenapa aku jadi deg-degan gini ya? Gak sabar banget ketemu wajah-wajah baru lagi! Apalagi di ekskul itu ada kakak kelas, jadi nambah deg-degan!

Ayolah, Audrey Litera Merlandia! Kau harus semangat, FIGHTING!

Eh tunggu, aku lupa lagi nih... Ruangan EC dimana ya? Hah, dengan berat hati aku menuju ruangan kelasku lagi, untuk menemui Fajar, semoga dia masih ada.

Uwaaa, gawat. Dari jauh aja kayaknya dikelas udah nggak ada orang. Coba dulu deh masuk... Kutengok sudut ruangan kelas dari pintu, dan...

"Audreeeeeey! Ngapain lu ngintip-ngintip? Ngintipin gue ya~" eeh, ternyata di kelas cuman ada Denis! Dia lagi beresin ruangan kelas, rajin banget ya. Pantes aja jadi ketua kelas.

"Nggak! Gue mau cari Fajar, dia udah pulang ya?" tanyaku sambil menghampiri si Ketua Kelas X-A.

"Udah dari tadi dia pulang. Emang ada apa bos?" aku tersenyum kecil karena dia memanggilku 'bos'. Dia ini nggak konsisten kalau manggil orang.

"Gue mau nanya ruangan EC dimana, tadi sih udah dikasih tau. Cuman guenya lupa..."

"Yaudah, bareng ama gue aja. Gue juga mau ke EC kok!"

"Serius? ASIIIK!"

Mendengar kalau Denis akan masuk di ekskul yang sama kayak aku, tiba-tiba aja aku langsung memeluknya yang lagi mau ambil tas.

"A-aaaaah!!?" pekik seseorang yang sepertinya seorang perempuan. Aku dan Denis menatap kearah sumber suara. Ternyata di depan pintu kelas, ada seorang gadis yang lagi menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Ma-maaf mengganggu!" dengan kalimatnya yang pendek itu, ia langsung berlari dari tempatnya berdiri tadi kearah kanan.

"Uhm Drey... Gue gak bisa gerak nih," ujar Denis dengan sangat pelan. OMG! Aku lupa kalau dari tadi aku lagi meluk dia!

"Sorry, Denis! Gue gak nyadar kalau lagi meluk lu... Aha~" Denis hanya tersenyum kecil mendengar penjelasanku.

"Nggak apa-apa kok kalau mau meluk aku lagi, hahaha!" candanya dengan nada yang sok dimesra-mesrain. "Yaudah yuk, kita langsung cabut ke EC!"

Waktu sudah menunjukkan pukul 02:34 PM, uwaa! Telat empat menit! Seharusnya kalau mau daftar, kita mesti dateng keruangan jam setengah tiga! Semoga aja diberi kebijakkan!

Sesampainya diruangan ekskul EC, tanpa di duga-duga... Aku dan Denis disambut dengan ramah oleh anggota EC! Uwaa, jadi malu, hehe.

"Kalian mau masuk EC ya? Boleh perkenalan diri dulu gak?" tanya salah seorang dari mereka yang tidak memakai seragam. Sepertinya dia pelatih EC, karena wajahnya tampak lebih dewasa dari yang lain.

"Iya kak, kami mau masuk ekskul English Club. Nama saya Audrey Litera Merlandia, dari kelas X-A! Dan dia..." Denis tersenyum ketika aku meliriknya. Sepertinya dia mengerti apa maksud lirikanku itu.

"Saya Denis Rangga Atmaja, dan saya sekelas sama Audrey juga kak! Salam kenal semuanyaaa!" ujar Denis dengan sangat semangat.

"Uhm... Boleh nanya?" tanya seorang gadis yang memakai seragam dan pangkat yang sama denganku dan Denis. Oh, ternyata dia gadis yang tadi ada didepan pintu kelasku. Baru tau kalau aku dan dia seangkatan.

"Ya boleh, tanya apa ya?" balas Denis dengan wajah bingungnya.

"Itu... Alasan kalian masuk EC apa ya? Dimulai dari kamu aja," tunjuk gadis itu kearahku.

"Alasan saya sih simple aja ya. Karena saya suka sama pelajaran Bahasa Inggris, jadinya saya tertarik untuk bergabung dengan EC!" setelah mengucapkan penjelasanku, mereka semua memberikan tepuk tangan untukku.

"Kalau saya... Saya sih ikut-ikut gebetan saya aja kak! Sekalian cari pengalaman baru juga sih, hehe!" what? Aku baru tau kalau Denis udah punya gebetan disini! Aku kira dia suka sama Cyntia, hehehe.

"Wah, ciee ciee... Siapa tuh gebetannya?" ledek sebagian dari mereka. Aku juga jadi meledeknya, haha, berani juga dia terang-terangan kalau dia punya gebetan di EC.

"Nama gebetan saya..." entah perasaanku saja atau apa, tapi... Kayaknya Denis semakin mempersempit jarak diantara kami deh. Perasaan gak enak. "Audrey Litera Merlandia!" lanjutnya sambil merangkul bahuku.

"GYAHAHAHA!" suasana tenang yang tadi tergambar, sekarang jadi malah kayak pasar. INI GARA-GARA DENIIIIIS! Lihat tuh, gara-gara kamu semua anak-anak jadi ketawa! Terlebih lagi si cewek yang tadi nanya alasan masuk EC, diantara lainnya... Dia yang ketawanya paling keras bahkan sambil mukul-mukul tembok.

"Ma-maaf atas ucapan teman saya tadi! Dia memang mempunyai selera humor seperti itu, jadi maklumin saja ya semuanya..." tawa mereka semakin membeledak ketika aku meminta maaf. Sekarang Denis malah ikut-ikutan ketawa! Aaargh, apa disini yang nggak stress cuman aku doang!?

"Hahaha, aduh...aduh... Kalian berdua lucu banget! Punya selera humor yang tinggi, aku suka!" DEG! Jantungku berdetak cepat untuk beberapa detik setelah aku melihat seorang cewek yang baru saja mengucapkan sebuah kalimat. Dia seangkatan denganku, tubuhnya mungil, rambutnya dikuncir, bulu matanya lentik, dan... Aaah, begitu banyak pesona darinya yang tak bisa aku deskripsikan oleh kata-kata.

Sepertinya bunga cinta mulai bersemi dihatiku. Bukan untuk Denis! Tapi buat gadis itu, hehehe.



To be continued...

Would You Take My Hand?

Thursday, July 12, 2012


take my hand, time for walking out the door
take me back, to the place I was before
take my hand you will find where you belong
no matter where you are, you’ve got life

****************
WOULD YOU TAKE MY HAND?
by: callmespica
****************

"Lepasin tangan gue!" bentaknya sambil menatapku dengan tajam. Hiks, aku benci tatapannya! "Gak usah nangis lo, cepet lepasin!" timpalnya lebih kejam. Aku hanya bisa menunduk sambil terus menggenggam tangannya.

"A-aku udah nyoba, tapi..." balasku dengan nada yang bergetar.

"Argh, shit! Kalo lu megangin tangan gua mulu, kita gak bisa menyebrang kedunia yang selanjutnya, bodoh!" ujarnya sambil terus melepaskan genggaman tangan kami. Hiks, sudah kubilang kan? Percuma saja, gak akan bisa lepas!

"Wah wah, repot juga ya. Hmm.. coba kalian ingat-ingat, kenapa kalian meninggalnya bisa pegangan tangan gini?" tegur seorang wanita cantik yang sedang duduk diatas perahunya. Dialah makhluk yang akan mengantar kami ke dunia lain, dengan kata lain... dialah yang akan membantu para arwah agar bisa beristirahat dengan tenang dialamnya. Sayangnya, perahu itu hanya bisa dinaiki oleh satu arwah, sedangkan tanganku dengan tangan lelaki yang disampingku ini entah kenapa tak mau lepas!

"Boro-boro gue bisa inget! Kenal juga kagak sama dia!" umpatnya dengan kesal sambil menatapku kesal.

Wanita itu mengangguk sesaat, dan tersenyum kearahku. "Bagaimana denganmu?" tanya wanita itu kepadaku.

"A-aku juga gak tau..." wanita itu tampak bingung, lalu tersenyum sesaat. Ia mengeluarkan dua lembar kertas dari saku dalam jaz hitamnya, dan berjalan kearah kami.

"Revan Gaida, dan Nobel Ananda. Ini data kalian berdua selama masih hidup. Silahkan kalian ingat-ingat kembali tentang kehidupan kalian agar kalian bisa mengingat bagaimana caranya kalian bisa meninggal. Sehingga kalian bisa melepaskan genggaman tangan kalian dan bisa beristirahat dengan tenang. Waktu kalian tidak lama, jika kalian gagal mengingatnya... terpaksa aku yang akan memisahkan kalian berdua~" ujarnya sambil menyeringai. Menyeramkan! hiks!

"Selamat berjuang!" tiba-tiba pandanganku langsung terlihat silau dan ketika kubuka mataku, aku sudah berada di langit bersama lelaki yang menggenggam tanganku ini. Ah, jadi begini ya rasanya terbang? Menyenangkan~ Berasa seperti burung, hahaha.

"Hei, jangan diem aja lu! Mikir dong kita mesti kemana dulu nih!" hiii lelaki itu mulai menindasku. Aku segera memeriksa identitasku di kertas pemberian wanita cantik tadi.

"Uh, erm... A-aku dan k-kamu se-sekolah di.. di SMA 333. T-terus, k-kita sekelas... l-lalu..."

"Arrrgh! Stress gua lama-lama ngeliat lu bicara kayak gitu! Berhenti bicara atau mati, pilih salah satu!" jahatnya...! Dia gak perlu sekesal itu juga kali, lagian aku kan sudah meninggal! Aneh... hiks.

"Sorry, erm.. Revan..."

"Udah diem aja, kita udah nyampe disekolahan kita nih. Ayo kita ke kelasnya langsung!" lelaki bernama Revan itu menuntunku untuk menghampiri kelas kami. Ternyata Revan mengingat letak kelasnya, syukurlah.

"Ayolah anak-anak, tersenyumlah! Saya yakin, Revan dan Nobel pasti akan sedih melihat kalian yang berduka seperti ini. Bapak sendiri... hiks, bapak sendiri juga sebenarnya tak rela kehilangan mereka. Tapi.... tapii...uugh uuugh huhu"

W-whoa, wali kelasku ternyata baik juga. Kulihat teman-teman sekelas yang sedang berduka cita juga. Mereka semua menangis? Bahkan yang terlihat sangar seperti Revan pun ikut menangis? Apakah keberadaanku dengan Revan begitu berarti bagi mereka?

"Buru-buru ikutan sedih, gua aja gak kenal sama mereka!" ucap Revan sambil menyusuri ruang kelas. Namun langkanya terhenti ketika ia melihat dua buah meja yang kosong. Ah, mungkin itu tempat duduk ku dengannya. Terpaut jauh ya. Tapi, aku duduk disebelah mananya ya? Yang paling depan? Atau yang paling belakang?

"Dulu lu duduk di depan, sedangkan gua dibelakang," hee~ hebat! Revan bisa membaca pikiranku? K-kok bisa!? Tapi kenapa dia bisa ingat ya? Mungkin ingatannya lebih tajam dia dibandingkan denganku, hiks... "Hei, liat deh cewek itu" lanjutnya sambil menunjuk seorang gadis remaja berparas manis yang duduk dibelakangku. Aah, aku ingat dia! Dia adalah Bulan, gadis yang kusuka semenjak aku pertama kali masuk SMA ini.

"Pasti dia lagi nangisin lo..." ujar Revan yang sambil tersenyum kecil menatapku. W-whoaa, jangan bilang kalau Revan tau kalau aku suka sama dia!? Bisa gawat~~ tapi tak apalah, toh kita juga udah meninggal. Gak mungkin lah Revan ngasih tau ke Bulan...

"Nah, sekarang ayo kita kerumah lo dulu..."

***

Dirumahku hanya ada dua orang. Hanya ada Ibu dan Ayahku. Aku adalah anak tunggal, dan aku belajar dengan giat agar bisa menjadi orang sukses. Dengan begitu, aku tak perlu melihat ibuku yang berjualan nasi uduk disetiap paginya. Dan aku tak perlu lagi melihat ayahku menjadi tukang jahit. Tapi nyatanya... cita-citaku tak bisa terkabulkan. Aku meninggalkan kedua orangtuaku, sebelum aku berhasil membahagiakan mereka. Jujur, aku merasa rapuh ketika melihat mereka berdua menangisi kepergianku.

"Sudah bisa mengingatnya?" ujar Revan. Aku menatap kedua bola mata hitamnya, dan akupun mengangguk kecil. "Baguslah, sepertinya keluarga lu sayang banget sama lu. Udah ah, kita cao.."

***

"W-whoaaaa! Revan, ini rumahmu!? Gede banget! Ternyata kamu dari keluarga orang kaya ya!" ucapku dengan mata yang berbinar-binar.  Namun Revan hanya membalasnya dengan senyuman yang kecut.

"Cepet masuk!" ujarnya dengan singkat.

Ketika kami berada di ruang tamu, disana terlihat seorang Pria berpakaian rapih dan berwajah tampan, ditemani dengan seorang wanita paruh baya yang sedang menikmati sebuah wine.

"Repot ya punya adik angkat kayak Revan. Selalu saja bisanya cari masalah! Dan selalu saja yang kena imbasnya tuh saya! Lebih baik dia meninggal dari pada merusak nama keluarga ini!" DEG! Kata-kata dari pria berpakaian mewah itu sangat membuatku shock. Siapa Pria itu!? Kakaknya!? Tidak seharusnya dia berkata seperti itu!

"Mama juga kesal dengannya. Dia gak pernah dengar kata-kata mama semenjak papanya meninggal, toh lagipula kalau dia meninggal lebih bagus kan. Warisan dari ayahnya bisa turun ke kita, sayang..." bisa-bisanya mereka berkata seperti itu! Bukankah keluarga lebih penting dibandingkan harta!? Kenapa mereka berani-beraninya tersenyum ketika Revan meninggal dunia!! Mereka benar-benar tak punya hati!!!

Ku angkat kepalaku untuk bisa menatap wajah Revan. Memastikan apakah ia baik-baik saja, namun...

"Revan... kamu gak apa-apa?" tanyaku takut-takut. Dia menatapku, lalu tersenyum sambil menggenggam erat tanganku.

"It's ok... ayo kita pergi dari sini..." itulah kata-kata terakhirnya sebelum ia terbang keatas pohon.

***

"Woi, gimana? lu inget sesuatu?" tanya Revan.

Aku hanya menggangguk kecil. "Aku hanya bisa ingat siapa aku, siapa keluargaku, dan siapa orang yang aku suka... itu aja. Kalau kamu?" tanyaku balik. Revan menatapku sesaat, dan lagi-lagi kembali tersenyum.

"Kalo gue cuman inget satu hal... Punggungmu."

"e-eh? Punggungku?"

"Ya, punggung. Kalau gue lagi belajar dikelas, pasti gue selalu ngeliat punggung lu. Nggak tau kenapa, tapi kayaknya gua kagum sama lu..."

mendengar setiap kata-katanya, hal itu cukup membuat wajahku merah seperti kepiting rebus! I-ini benar-benar awkward! Hei, ayolah sadar! Kita sama-sama laki-laki, jadi jangan malu!

"M-mungkin, kita ini sahabatan ya waktu kita masih hidup?" Revan melebarkan matanya ketika mendengar kalimatku. Tapi tak lama kemudian ia tesenyum lebar, namun entah kenapa... senyumnya terlihat aneh. Ini bukanlah senyum yang biasanya aku lihat. Senyumnya terlihat... sedih?

"Lho? Liat deh bel, itu cewek yang lu suka kan?" ucap Revan memecahkan keheningan.

"Ah, iya! Mau kemana dia? Kenapa bawa bunga ya?" tanyaku dengan antusias.

"Mau di ikutin gak nih?" tawar Revan. A-aku gak bisa jawab. Bingung... aku pengen sih, cuman nanti malah ngabis-ngabisin waktu!

"Aaarrgh jangan banyak mikir! Ayo ikut!"

Whoa, ternyata Revan aslinya baik banget ya. Sepertinya dia memang benar-benar sahabatku waktu kita masih hidup dulu. Aku bersyukur banget bisa punya sahabat kayak dia. Hehehe.

***
Ternyata Bulan sedang berjalan kearah kereta... mungkin dia mau pulang?

"lho? liat deh... tadi yang namanya Bulan kan? Temen SMP kita?" ujar salah satu murid SMA yang sedang duduk.

"Eh, iya bener... yang suka sama si Revan itu kan? Dia sampe milih SMA yang sama kayak Revan lho... tapi kasian ya, katanya Revan udah meninggal... Lagian kenapa sih Bulan bisa-bisanya suka sama Revan? Dia kan terkenal bandel banget!"

DEG! A-apa mereka bilang? Revan? Jadi... Bulan itu suka sama Revan?

"Iya bener! Dia satu sekolah sama aku lho. Aku tau ini gak baik tapi... dulu disekolah si Revan pernah ngebully orang lho, temen sekelasnya sendiri!! Kalau gak salah namanya.... erm, siapa ya? Oh iya! Namanya Nobel!"

Lho...? K-kenapa......


"Nob..."

"JANGAN SENTUH AKU!!!"

Ah, a-apa yang aku lakukan? Tidak semestinya aku menepis tangan Revan... tapi....

"Ma-maaf, tapi.... tapi tiba-tiba.... semua ingatanku sudah.... kembali....." ujarku dengan bergetar. Aku tak bisa menatap mata Revan, aku takut.

"Ya, sama..." balas Revan singkat.

********

REVAN'S POV

"Mau jadi apa kamu!? Kerjanya keluyuran kemana-mana!! Mama gak suka kamu selalu cari masalah sama sekolah, apa jadinya masa depan kamu nanti!? Cepat belajar!!! Kamu ini beda banget sama kakak kamu, dia sampe kuliah di luar negeri untuk mengejar cita-citanya!! Contoh kakak mu itu!!"

Be-la-jar. Bel-ajar. Bela-jar. Belajar.
Gua muak sama satu kata itu!!
Apa sih pentingnya belajar? Gak ada kan?
Dan gua juga muak sama orang yang sok pinter kayak cowok culun itu... Nobel.

SPLASH!
"Ups, sorry. Tangan gua licin nih..."

Gua benci sama yang namanya Nobel. Dia gak bales perbuatan gua, bego kan? Harusnya dia marah dong waktu gua jatuhin air aqua di kepalanya! Dasar sok suci!

********

NOBEL'S POV

Aku gak ngerti, kenapa Revan bisa begitu bencinya denganku. Padahal salahku apa? Menegurnya saja aku tak pernah! Tapi kenapa dia selalu ngebully aku?

Tapi tak apa... asalkan ada Bulan, aku masih bisa tersenyum kok. Cuman dia penyemangat aku di kelas. Jadi aku akan baik-baik saja....

********
REVAN'S POV

"Eh? Serius tuh? Si Nobel masih tetep nyariin gantungan kunci pemberian Bulan di tempat sampah belakang sekolah?"

"Iya deh kayaknya, kasian ya dia... padahal kan bisa dibeli lagi..."

Gua benci Nobel. Gua gak suka ngeliat orang sebodoh bocah culun itu!!

"Ngapain lo ngorek-ngorek sampah, hah!?"

sial. Dia gak ngegrubis teguran gua. Lho? Apaan itu? Jangan-jangan....

"Woy, ini ya benda yang lu cari?"

Nobel langsung melirik gua, dan mengulurkan tangannya.

"Bisa kasih ke aku?"

Gua tersenyum. Dan membuang gantungan kunci itu ketempat pembakaran sampah.

"Ambil sendiri aja ya, disana... hahaha!"

Hahahaha puas gua ngeliat wajahnya!! Rasain! Gak usah berharap deh lo sama cinta monyet!!

********
NOBEL'S POV

"Apa? Revan melakukan semua hal itu!?" ujar Bulan dengan nada yang tak percaya. Aku hanya mengangguk lemah.

"Masa? Dia gak seperti itu kok orangnya... dari SMP dia baik kok..."

Kenapa? kenapa gak ada yang percaya sama aku!?? Bahkan Bulan... kenapa dia juga tak percaya!??

********
REVAN'S POV

Sesungguhnya... apa yang selama ini gue perbuat? Apa untungnya? Apa ruginya?
Gue tau gue salah... gak seharusnya gue ngebully Nobel. Dia juga gak salah apa-apa... gua cuman kesel. Kesel karena dia deket sama Bulan.

Nggak, gue gak cemburu sama Nobel karena dia deket sama Bulan. Tapi gue cemburu sama Bulan...
Ya, mesti gue akuin hal itu. Meskipun gue tau itu salah... tapi inilah kenyataannya.

Gue harus minta maaf sama Nobel. Besok... besok gue mesti minta maaf.

Harus minta maaf ke dia.

"Kereta tujuan kota X, Kereta tujuan kota X akan datang dari jalur 3. Sekali lagi, kereta tujuan kota X akan datang dari jalur 3..."
********
NOBEL'S POV

Aku benci Revan. Sangat benci.

Oh ya, aku punya ide...
Dia kan kalau pulang selalu naik kereta. Gimana kalau aku mendorongnya ke rel kereta? Ide bagus bukan?

"Kereta tujuan kota X, Kereta tujuan kota X akan datang dari jalur 3. Sekali lagi, kereta tujuan kota X akan datang dari jalur 3..."

Ini dia saatnya... maaf Revan. Sebenarnya aku gak mau melakukan ini, tapi...

BRUGH!!!

Revan kehilangan keseimbangan, wajahnya langsung menoleh kearahku. Dan bergumam pelan. "No.. Nobel?"

Akupun tersenyum. Akhirnya dendamku terbalaskan.

GRAB!!!

Ah... ta-tanganku!? Dia menarik tanganku!!

"Maaf..." ujarnya pelan.
******** 
Setelah semua ingatan kembali... akhirnya genggaman tangan kami terlepas juga.

"Akhirnya lepas juga ya..." ujarku pelan memecah suasana hening.

"Ya.. lihat kita, udah mulai menghilang juga." balasnya. Aku melihat kakiku yang terlihat transparan. Ah... mungkin ini sudah waktunya.

"Sejujurnya..." gumam Revan. "Gue gak ngerti semua ini. Kesedihan, kemarahan, penyesalan, dan rasa bersalah... Itu semua gak gue rasain dalah hidup gue," aku terdiam mendengar suaranya yang berat. "Kecuali satu... gua bahagia karena gua sudah diberi kesempatan untuk bertemu dengan lu di dunia ini..." lanjutnya.

Kini wajahku kembali memerah. Entahlah, aku tak tahu perasaan apa ini... tapi... yang pasti perasaan benciku ke Revan hilang begitu saja.

"Untuk terakhir kalinya, mau gak pegangan tangan lagi sama gua?" ujarnya pelan sambil mengulurkan tangannya.

"Nggak mau ah..." ucapku sambil tersenyum. "Nggak mau kalau untuk yang terakhir kali, tapi untuk selamanya..." kuraih tangannya sebelum tubuh kami menghilang dari dunia ini. 

********
 EPILOUGE
********

Terlihat seorang gadis berparas manis yang tengah berdiri ditengah rel kereta. Ia menaruh bunga itu di rel, dan menggumamkan sesuatu.

"Revan, Nobel... apa kabar? Semoga kalian baik-baik saja ya. Nobel, kau tau? Sebenarnya Revan tidak membencimu kok. Aku selalu menangkap Revan yang sering memperhatikanmu dari belakang. Aku tau, kalau Revan menganggapmu special. Makanya, aku rela melupakan Revan demi kamu Nobel... Tapi kenapa kalian pergi? Padahal aku berniat ingin menyatukan kalian... Ah, sudahlah. Mungkin kalian bisa bersatu sekarang, aku yakin itu... See you again, Revan, Nobel... semoga kalian bahagia..."

Perfect Line



Hidup sebagian besar orang, bisa diumpamakan dengan sebuah garis lurus. Mereka selalu mempunyai kenangan yang lurus, utuh, tanpa terputus. Saat bahagia yang menghampiri, atau kesedihan yang datang tanpa ketukan. Mereka selalu mengingatnya kejadian-kejadian itu.

Mereka perlu bersyukur, karena hidupku adalah sebuah garis yang tak sempurna. Garis yang terputus-putus. Aku sendiri tak pernah tahu... ketika aku bahagia, ketika aku sedih, bahkan ketika aku kaget, yang kuingat hanyalah sebuah bayangan hitam kelam. Benar-benar ingatan yang tak pernah utuh, bagaikan ember bocor yang diisi oleh Air.

Kata Pria berjaz putih dengan gelar dr, aku terjangkit penyakit Narcolepsy. Ketika emosi datang menghampiriku, tubuhku tak bisa menerimanya... Aku kehilangan moment yang sangat penting dalam hidupku karena ketika aku sedang bahagia, maupun sedih... Aku terlelap dalam mimpiku. Butuh waktu lebih dari 20 jam untuk bisa bangun kembali dalam dunia nyata, dan pada akhirnya... Kenangan yang ingin kubuat sempurna, menjadi putus. Hanya ada awal dan akhir, tak ada pertengahan.

Ayahku pernah mengatakan sesuatu, ketidak tahuan adalah suatu bentuk lindungan tuhan. Supaya hati tak perlu bekerja ekstra keras. Tapi, aku tak percaya kata ayahku. Karena aku mengerti rasanya dipermainkan oleh hidup, saat aku tak tahu apa-apa. Dan aku tak pernah bisa berbuat apapun untuk melawannya.

Aku hanyalah seorang lelaki, yang tak pernah ditakdirkan untuk memiliki garis yang utuh.

Awalnya aku berpikir begitu, tapi kini semuanya berbeda. Ketika aku bertemu dengannya. Dia selalu melewati ruangan kelasku, bersama dengan teman-temannya. Dia, adalah seorang lelaki yang umurnya lebih tua satu tahun dariku. Tubuhnya tinggi, wajahnya pun tampan, pantas saja jika semua orang mau berteman dengannya.

Aku selalu iri dengannya. Aku selalu takjub melihatnya. Dan mataku tak pernah teralihkan lagi dari sosoknya. Dari ruangan kelas yang tak besar ini, aku selalu melihatnya dari jendela... yang tengah asik mengobrol bersama teman-temannya. Dan tanpa sadar, tangan inipun... melukiskan sosoknya yang tampan diatas kertas buku tulisku.

Disaat aku ingin meliriknya lagi, dia sudah tak ada didepan kelasku. Kemana dia? Setelah aku menolehkan kepalaku ke depan kelas... Dia sudah memasuki kelasku. Sebisa mungkin aku ingin menenangkan diriku. Ku masukkan buku tulisku ke dalam tas, sebelum dia melewati mejaku.

Sial... kenapa jantungku tak mau berhenti berdetak? Aku gak mau terlelap sekarang... Aku.....Aku...
_______________________________
"Kau sudah sadar?" tanya seorang perempuan yang tengah duduk disampingku. Ah, ternyata dia...

"Aku sudah dirumah ya? Berapa jam aku tertidur?" tanyaku sambil menatap langit-langit kamarku. Perempuan itu menghembuskan nafas kecilnya.

"Hanya 11 jam, gak sampai 20 jam kok," ujar gadis itu sambil memberiku segelas air putih. "Lagian kamu kenapa bisa tertidur di sekolah sih? Gak biasanya...." sambung gadis itu dengan menatapku curiga.

Aku hanya bisa terdiam sambil meneguk air mineral yang diberikan oleh sahabatku. Aku memang ceroboh, gak seharusnya aku tertidur ketika aku berada di sekolah.

"Eh ya, barusan aku membeli sesuatu... ini untukmu," ucap gadis itu sambil tersenyum dan memberiku sebuah kotak yang dibungkus dengan rapih. "Handycame untukmu, biar kamu tak melewatkan moment penting lagi."

Aku tersenyum lebar meraih benda tersebut. Akhirnya, kutemukan tempat lain untuk menyimpan memoriku. Akupun tak sabar untuk menanti hari esok.

Keesokan harinya, tepatnya pada hari minggu pagi. Aku berjalan-jalan disebuah taman hanya untuk sekedar refreshing, sambil mencoba Handycameku ini. Tapi ketika aku sedang berjalan dengan santainya, datanglah sebuah motor yang menyelip dari sebelahku, dan membuatku kaget. Tanpa sadar, aku terjatuh dan terlelap dijalanan.
..............
..............
..............
"Hei! Hei, kamu! Bangun! Woi, masih hidup kan!?"

uurgh... S-siapa? Aku pernah mendengar suara ini... tapi dimana ya? Dengan perlahan, kubuka kedua kelopak mataku. Dan terlihalah seorang lelaki tampan yang sering kupuja... Nggak, aku gak boleh kaget. Aku tak mau tertidur lagi. Ah ya... Handycameku.... dimana?

"Akhirnya bangun juga, bener-bener bikin takut aja deh! Oh ya, ini Handycame kamu kan?" tanya lelaki itu sambil memberikan sebuah Handycame padaku. Tanpa bicara, aku mengambil Handycameku dari tangannya.

"Berapa lama aku tertidur?" tanyaku tanpa menatapnya.

"Hah!? Jadi kamu tidur!? Dipinggiran jalan gitu!?" sentaknya dengan suara yang keras. Lho? Kenapa aku gak tertidur? Biasanya aku tertidur mendengar suara yang keras,tapi ini....

"Uhm, kamu tidurnya cuman tiga puluh menit kok... Lama banget kamu tidur dijalanan." ujar lelaki disebelahku dengan nada penasaran. Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam, dan bingung. Kenapa bisa secepat itu aku bangun? Biasanya butuh waktu dua puluh jam aku kembali kedunia nyata. Sebenarnya... Aku ini kenapa?

Semenjak hari itu, Aku dan Reza, lelaki tampan itu, sering melewatkan waktu bersama untuk mengunjungi tempat-tempat yang indah. Ternyata aku dan Reza semakin dekat karena hobby kita yang sama, yaitu art and traveling. Semenjak berteman dengan Reza, aku juga jarang sekali terlelap, sekalipun terlelap mungkin aku akan kembali bangun dengan cepat. Reza juga telah mengetahui penyakitku, dan dia rela membawakan Handycameku untuk merekamku. Sahabatku yang bernama Detania, dia juga bersyukur dengan keberadaan Reza yang semakin membuatku menjadi lebih membaik.

Aku kira semuanya akan baik-baik saja. Aku kira aku bakal sembuh dari penyakit ini... tapi....
Ketika aku menyadari perasaanku ke Reza, Aku tak bisa tinggal diam saja. Mumpung aku masih bisa bernafas di dunia ini... Aku ingin mengungkapkan semua perasaanku pada Reza.

Dihari kelulusan tiba, aku berbicara empat mata dibelakang sekolah, tepatnya di taman sekolah... Tempat dimana kami selalu bisa bersantai bersama pada waktu istirahat. Aku menaruh Handycameku diatas meja taman, dan kututupi dengan jaketku agar tak terlalu kelihatan. Aku yakin, aku pasti tertidur ketika aku mengatakan perasaanku ini. Makanya, aku mempersiapkan Handycameku.

"Ezhar... Ada yang ingin kau bicarakan denganku?" tegur seorang lelaki yang sangat aku kagumi. Sosoknya semakin terlihat tampan dengan stelan jaz hitamnya... Benar-benar sesosok lelaki idaman.
"Reza...." tegurku dengan suara yang nyaris tak terdengar karena hembusan angin yang kencang. Kulangkahkan kakiku agar mempertipis jarakku dengan Reza. Kuraih tangan kanannya yang selalu melindungiku itu. Dan kugenggam tangannya dengan kedua tanganku.

"Terima kasih, atas semua yang telah kau lakukan untukku...." ujarku dengan nada yang sedikit bergetar. Walaupun jantungku sudah berdetak dengan cepat, kuberanikan diri untuk menatap kedua bola mata onyx miliknya. "Maaf... Aku mencintaimu."

Setelah itu, aku tak mengingat apapun lagi. Pandanganku menjadi gelap. Suara yang terakhir kali kudengar, adalah suara miliknya yang tengah teriak memanggil namaku.

Ah... Apakah aku sudah terlelap? Kalau ya... Mungkin ini adalah ending yang paling membahagiakan untukku. Akhirnya, aku bisa mempunyai garis lurus yang sempurna... tanpa ada yang terputus. Haha... hahaha, akhirnya aku berhasil menjadi seperti yang lainnya. Hah... aku lelah. Aku ingin beristirahat... Selamat malam.
________________________
8 Tahun Kemudian.......
________________________
~Author's POV~

Diruangan yang sederhana namun nyaman ini, terdapat dua orang lelaki dan seorang wanita yang tengah diancam kesunyian. Lelaki pertama bertubuh tegap, dia sedang duduk sambil menggenggam tangan lelaki kedua yang tengah terbaring lemah disampingnya. Sedangkan Wanitanya... Dia hanya berdiri mematung disebelah lelaki pertama.

"Sudahlah, Rez. Kau harus merelakan kepergiannya," ujar Wanita itu sambil menepuk bahu Pria disebelahnya. Sang Pria yang bernama Reza itu hanya tersenyum tipis.

"Dia belum pergi, Detania. Dia tak boleh pergi begitu saja..." balas Reza dengan suara beratnya. "Lagipula, dia belum mendengar perasaanku. Curang sekali kan?"

Wanita karir yang bernama Detania itu kembali tersenyum. Dia tahu kalau kedua sahabatnya itu memiliki perasaan yang sama. Detania juga selalu berusaha untuk membangunkan sahabatnya yang tengah tertidur lelap selama delapan tahun lamanya. Pihak rumah sakit bilang, kalau Ezhar terlalu memaksakkan dirinya untuk terus melawan penyakitnya. Dan pada akhirnya, ketika dia sudah melewati batasnya... Ezhar merasa lelah dan kemungkinan besar dia tak akan pernah bangun lagi dari tidur lelapnya. Meskipun begitu, Detania dan Reza selalu setia menantikan Ezhar untuk kembali membuka kedua matanya.

Takdir Ezhar hanya ada dua jalan. Pertama, Ezhar tak akan pernah bangun kembali. Kedua, Ezhar bangun... akan tetapi ia terancam terkena Amnesia.

"Walaupun dia Amnesia... Kita masih punya ini kan?" ujar Reza sambil memegang sebuah Handycame ditangannya. "Benda ini adalah tempat dimana dia bisa melengkapi garis kenangannya, tanpa ada yang terputus. Dia pasti akan mengingatnya, dia pasti akan bangun dari tidurnya... Ya kan?" sambung Reza sambil tetap mengelus kedua tangan milik Ezhar.

Wanita itu tersenyum menatap kedua sahabat masa SMA nya. Sebenarnya, mereka telah membuat sebuah garis yang sempurna nan indah. Namun Wanita itu yakin, ketika sang pangeran tidur telah berhasil melawan kutukannya... Dia, dan seseorang yang dicintainya, akan membuat garis baru yang tak kalah sempurnanya dengan garis yang dulu pernah dibuatnya, bahkan lebih indah dari sebelumnya.

Detania melangkahkan kakinya menuju Ezhar, sahabatnya. Dia menundukkan badannya dan berbisik kecil ditelinga sahabatnya itu.

"Bangunlah, sang pangeran tengah menunggumu."