take me back, to the place I was before
take my hand you will find where you belong
no matter where you are, you’ve got life
****************
WOULD YOU TAKE MY HAND?
by: callmespica
****************
"Lepasin  tangan gue!" bentaknya sambil menatapku dengan tajam. Hiks,  aku benci  tatapannya! "Gak usah nangis lo, cepet lepasin!" timpalnya  lebih kejam.  Aku hanya bisa menunduk sambil terus menggenggam  tangannya.
"A-aku udah nyoba, tapi..." balasku dengan nada yang bergetar.
"Argh,  shit! Kalo lu megangin tangan gua mulu, kita gak bisa  menyebrang  kedunia yang selanjutnya, bodoh!" ujarnya sambil terus  melepaskan  genggaman tangan kami. Hiks, sudah kubilang kan? Percuma  saja, gak akan  bisa lepas!
"Wah wah, repot juga ya. Hmm.. coba kalian  ingat-ingat, kenapa  kalian meninggalnya bisa pegangan tangan gini?"  tegur seorang wanita  cantik yang sedang duduk diatas perahunya. Dialah  makhluk yang akan  mengantar kami ke dunia lain, dengan kata lain...  dialah yang akan  membantu para arwah agar bisa beristirahat dengan  tenang dialamnya.  Sayangnya, perahu itu hanya bisa dinaiki oleh satu  arwah, sedangkan  tanganku dengan tangan lelaki yang disampingku ini  entah kenapa tak mau  lepas!
"Boro-boro gue bisa inget! Kenal juga kagak sama dia!" umpatnya dengan kesal sambil menatapku kesal.
Wanita itu mengangguk sesaat, dan tersenyum kearahku. "Bagaimana denganmu?" tanya wanita itu kepadaku.
"A-aku  juga gak tau..." wanita itu tampak bingung, lalu tersenyum  sesaat. Ia  mengeluarkan dua lembar kertas dari saku dalam jaz hitamnya,  dan  berjalan kearah kami.
"Revan Gaida, dan Nobel Ananda.  Ini data kalian berdua selama masih  hidup. Silahkan kalian ingat-ingat  kembali tentang kehidupan kalian  agar kalian bisa mengingat bagaimana  caranya kalian bisa meninggal.  Sehingga kalian bisa melepaskan genggaman  tangan kalian dan bisa  beristirahat dengan tenang. Waktu kalian tidak  lama, jika kalian gagal  mengingatnya... terpaksa aku yang akan  memisahkan kalian berdua~"  ujarnya sambil menyeringai. Menyeramkan!  hiks!
"Selamat berjuang!" tiba-tiba pandanganku  langsung terlihat silau  dan ketika kubuka mataku, aku sudah berada di  langit bersama lelaki  yang menggenggam tanganku ini. Ah, jadi begini ya  rasanya terbang?  Menyenangkan~ Berasa seperti burung, hahaha.
"Hei,  jangan diem aja lu! Mikir dong kita mesti kemana dulu nih!"  hiii lelaki  itu mulai menindasku. Aku segera memeriksa identitasku di  kertas  pemberian wanita cantik tadi.
"Uh, erm... A-aku dan k-kamu se-sekolah di.. di SMA 333. T-terus, k-kita sekelas... l-lalu..."
"Arrrgh!  Stress gua lama-lama ngeliat lu bicara kayak gitu! Berhenti  bicara atau  mati, pilih salah satu!" jahatnya...! Dia gak perlu  sekesal itu juga  kali, lagian aku kan sudah meninggal! Aneh... hiks.
"Sorry, erm.. Revan..."
"Udah  diem aja, kita udah nyampe disekolahan kita nih. Ayo kita ke  kelasnya  langsung!" lelaki bernama Revan itu menuntunku untuk  menghampiri kelas  kami. Ternyata Revan mengingat letak kelasnya,  syukurlah.
"Ayolah  anak-anak, tersenyumlah! Saya yakin, Revan dan Nobel pasti  akan sedih  melihat kalian yang berduka seperti ini. Bapak sendiri...  hiks, bapak  sendiri juga sebenarnya tak rela kehilangan mereka.  Tapi....  tapii...uugh uuugh huhu"
W-whoa, wali kelasku ternyata  baik juga. Kulihat teman-teman sekelas  yang sedang berduka cita juga.  Mereka semua menangis? Bahkan yang  terlihat sangar seperti Revan pun  ikut menangis? Apakah keberadaanku  dengan Revan begitu berarti bagi  mereka?
"Buru-buru ikutan sedih, gua aja gak kenal sama  mereka!" ucap Revan  sambil menyusuri ruang kelas. Namun langkanya  terhenti ketika ia  melihat dua buah meja yang kosong. Ah, mungkin itu  tempat duduk ku  dengannya. Terpaut jauh ya. Tapi, aku duduk disebelah  mananya ya? Yang  paling depan? Atau yang paling belakang?
"Dulu  lu duduk di depan, sedangkan gua dibelakang," hee~ hebat!  Revan bisa  membaca pikiranku? K-kok bisa!? Tapi kenapa dia bisa ingat  ya? Mungkin  ingatannya lebih tajam dia dibandingkan denganku, hiks...  "Hei, liat deh  cewek itu" lanjutnya sambil menunjuk seorang gadis  remaja berparas  manis yang duduk dibelakangku. Aah, aku ingat dia! Dia  adalah Bulan,  gadis yang kusuka semenjak aku pertama kali masuk SMA  ini.
"Pasti  dia lagi nangisin lo..." ujar Revan yang sambil tersenyum  kecil  menatapku. W-whoaa, jangan bilang kalau Revan tau kalau aku suka  sama  dia!? Bisa gawat~~ tapi tak apalah, toh kita juga udah meninggal.  Gak  mungkin lah Revan ngasih tau ke Bulan...
"Nah, sekarang ayo kita kerumah lo dulu..."
***
Dirumahku  hanya ada dua orang. Hanya ada Ibu dan Ayahku. Aku adalah  anak tunggal,  dan aku belajar dengan giat agar bisa menjadi orang  sukses. Dengan  begitu, aku tak perlu melihat ibuku yang berjualan nasi  uduk disetiap  paginya. Dan aku tak perlu lagi melihat ayahku menjadi  tukang jahit.  Tapi nyatanya... cita-citaku tak bisa terkabulkan. Aku  meninggalkan  kedua orangtuaku, sebelum aku berhasil membahagiakan  mereka. Jujur, aku  merasa rapuh ketika melihat mereka berdua menangisi  kepergianku.
"Sudah  bisa mengingatnya?" ujar Revan. Aku menatap kedua bola mata  hitamnya,  dan akupun mengangguk kecil. "Baguslah, sepertinya keluarga  lu sayang  banget sama lu. Udah ah, kita cao.."
***
"W-whoaaaa! Revan,  ini rumahmu!? Gede banget! Ternyata kamu dari  keluarga orang kaya ya!"  ucapku dengan mata yang berbinar-binar.  Namun  Revan hanya membalasnya  dengan senyuman yang kecut.
"Cepet masuk!" ujarnya dengan singkat.
Ketika  kami berada di ruang tamu, disana terlihat seorang Pria  berpakaian  rapih dan berwajah tampan, ditemani dengan seorang wanita  paruh baya  yang sedang menikmati sebuah wine.
"Repot ya punya adik  angkat kayak Revan. Selalu saja bisanya cari  masalah! Dan selalu saja  yang kena imbasnya tuh saya! Lebih baik dia  meninggal dari pada merusak  nama keluarga ini!" DEG! Kata-kata dari  pria berpakaian mewah itu sangat  membuatku shock. Siapa Pria itu!?  Kakaknya!? Tidak seharusnya dia  berkata seperti itu!
"Mama juga kesal dengannya. Dia  gak pernah dengar kata-kata mama  semenjak papanya meninggal, toh  lagipula kalau dia meninggal lebih  bagus kan. Warisan dari ayahnya bisa  turun ke kita, sayang..."  bisa-bisanya mereka berkata seperti itu!  Bukankah keluarga lebih  penting dibandingkan harta!? Kenapa mereka  berani-beraninya tersenyum  ketika Revan meninggal dunia!! Mereka  benar-benar tak punya hati!!!
Ku angkat kepalaku untuk bisa menatap wajah Revan. Memastikan apakah ia baik-baik saja, namun...
"Revan... kamu gak apa-apa?" tanyaku takut-takut. Dia menatapku, lalu tersenyum sambil menggenggam erat tanganku.
"It's ok... ayo kita pergi dari sini..." itulah kata-kata terakhirnya sebelum ia terbang keatas pohon.
***
"Woi, gimana? lu inget sesuatu?" tanya Revan.
Aku  hanya menggangguk kecil. "Aku hanya bisa ingat siapa aku, siapa   keluargaku, dan siapa orang yang aku suka... itu aja. Kalau kamu?"   tanyaku balik. Revan menatapku sesaat, dan lagi-lagi kembali tersenyum.
"Kalo gue cuman inget satu hal... Punggungmu."
"e-eh? Punggungku?"
"Ya,  punggung. Kalau gue lagi belajar dikelas, pasti gue selalu  ngeliat  punggung lu. Nggak tau kenapa, tapi kayaknya gua kagum sama  lu..."
mendengar  setiap kata-katanya, hal itu cukup membuat wajahku merah  seperti  kepiting rebus! I-ini benar-benar awkward! Hei, ayolah sadar!  Kita  sama-sama laki-laki, jadi jangan malu!
"M-mungkin, kita  ini sahabatan ya waktu kita masih hidup?" Revan  melebarkan matanya  ketika mendengar kalimatku. Tapi tak lama kemudian  ia tesenyum lebar,  namun entah kenapa... senyumnya terlihat aneh. Ini  bukanlah senyum yang  biasanya aku lihat. Senyumnya terlihat... sedih?
"Lho? Liat deh bel, itu cewek yang lu suka kan?" ucap Revan memecahkan keheningan.
"Ah, iya! Mau kemana dia? Kenapa bawa bunga ya?" tanyaku dengan antusias.
"Mau di ikutin gak nih?" tawar Revan. A-aku gak bisa jawab. Bingung... aku pengen sih, cuman nanti malah ngabis-ngabisin waktu!
"Aaarrgh jangan banyak mikir! Ayo ikut!"
Whoa,  ternyata Revan aslinya baik banget ya. Sepertinya dia memang   benar-benar sahabatku waktu kita masih hidup dulu. Aku bersyukur banget   bisa punya sahabat kayak dia. Hehehe.
***
Ternyata Bulan sedang berjalan kearah kereta... mungkin dia mau pulang?
"lho? liat deh... tadi yang namanya Bulan kan? Temen SMP kita?" ujar salah satu murid SMA yang sedang duduk.
"Eh,  iya bener... yang suka sama si Revan itu kan? Dia sampe milih  SMA yang  sama kayak Revan lho... tapi kasian ya, katanya Revan udah  meninggal... Lagian kenapa sih Bulan bisa-bisanya suka sama Revan? Dia  kan terkenal bandel banget!"
DEG! A-apa mereka bilang? Revan? Jadi... Bulan itu suka sama Revan?
"Iya  bener! Dia satu sekolah sama aku lho. Aku tau ini gak baik  tapi... dulu  disekolah si Revan pernah ngebully orang lho, temen  sekelasnya  sendiri!! Kalau gak salah namanya.... erm, siapa ya? Oh iya!  Namanya  Nobel!"
Lho...? K-kenapa......
"Nob..."
"JANGAN SENTUH AKU!!!"
Ah, a-apa yang aku lakukan? Tidak semestinya aku menepis tangan Revan... tapi....
"Ma-maaf,  tapi.... tapi tiba-tiba.... semua ingatanku sudah....  kembali....."  ujarku dengan bergetar. Aku tak bisa menatap mata Revan,  aku takut.
"Ya, sama..." balas Revan singkat.
********
REVAN'S POV
"Mau  jadi apa kamu!? Kerjanya keluyuran kemana-mana!! Mama gak suka  kamu  selalu cari masalah sama sekolah, apa jadinya masa depan kamu  nanti!?  Cepat belajar!!! Kamu ini beda banget sama kakak kamu, dia  sampe kuliah  di luar negeri untuk mengejar cita-citanya!! Contoh kakak  mu itu!!"
Be-la-jar. Bel-ajar. Bela-jar. Belajar.
Gua muak sama satu kata itu!!
Apa sih pentingnya belajar? Gak ada kan?
Dan gua juga muak sama orang yang sok pinter kayak cowok culun itu... Nobel.
SPLASH!
"Ups, sorry. Tangan gua licin nih..."
Gua  benci sama yang namanya Nobel. Dia gak bales perbuatan gua, bego  kan?  Harusnya dia marah dong waktu gua jatuhin air aqua di kepalanya!  Dasar  sok suci!
********
NOBEL'S POV
Aku gak  ngerti, kenapa Revan bisa begitu bencinya denganku. Padahal  salahku apa?  Menegurnya saja aku tak pernah! Tapi kenapa dia selalu  ngebully aku?
Tapi  tak apa... asalkan ada Bulan, aku masih bisa tersenyum kok.  Cuman dia  penyemangat aku di kelas. Jadi aku akan baik-baik saja....
******** 
REVAN'S POV
"Eh? Serius tuh? Si Nobel masih tetep nyariin gantungan kunci pemberian Bulan di tempat sampah belakang sekolah?"
"Iya deh kayaknya, kasian ya dia... padahal kan bisa dibeli lagi..."
Gua benci Nobel. Gua gak suka ngeliat orang sebodoh bocah culun itu!!
"Ngapain lo ngorek-ngorek sampah, hah!?"
sial. Dia gak ngegrubis teguran gua. Lho? Apaan itu? Jangan-jangan....
"Woy, ini ya benda yang lu cari?"
Nobel langsung melirik gua, dan mengulurkan tangannya.
"Bisa kasih ke aku?"
Gua tersenyum. Dan membuang gantungan kunci itu ketempat pembakaran sampah.
"Ambil sendiri aja ya, disana... hahaha!"
Hahahaha puas gua ngeliat wajahnya!! Rasain! Gak usah berharap deh lo sama cinta monyet!!
******** 
NOBEL'S POV
"Apa? Revan melakukan semua hal itu!?" ujar Bulan dengan nada yang tak percaya. Aku hanya mengangguk lemah.
"Masa? Dia gak seperti itu kok orangnya... dari SMP dia baik kok..."
Kenapa? kenapa gak ada yang percaya sama aku!?? Bahkan Bulan... kenapa dia juga tak percaya!??
******** 
REVAN'S POV
Sesungguhnya... apa yang selama ini gue perbuat? Apa untungnya? Apa ruginya?
Gue  tau gue salah... gak seharusnya gue ngebully Nobel. Dia juga gak  salah  apa-apa... gua cuman kesel. Kesel karena dia deket sama Bulan.
Nggak, gue gak cemburu sama Nobel karena dia deket sama Bulan. Tapi gue cemburu sama Bulan...
Ya, mesti gue akuin hal itu. Meskipun gue tau itu salah... tapi inilah kenyataannya.
Gue harus minta maaf sama Nobel. Besok... besok gue mesti minta maaf.
Harus minta maaf ke dia.
"Kereta tujuan kota X, Kereta tujuan kota X akan datang dari jalur 3.  Sekali lagi, kereta tujuan kota X akan datang dari jalur 3..."
******** 
NOBEL'S POV
Aku benci Revan. Sangat benci.
Oh ya, aku punya ide...
Dia kan kalau pulang selalu naik kereta. Gimana kalau aku mendorongnya ke rel kereta? Ide bagus bukan?
"Kereta  tujuan kota X, Kereta tujuan kota X akan datang dari jalur  3.  Sekali  lagi, kereta tujuan kota X akan datang dari jalur 3..."
Ini dia saatnya... maaf Revan. Sebenarnya aku gak mau melakukan ini, tapi...
BRUGH!!!
Revan kehilangan keseimbangan, wajahnya langsung menoleh kearahku. Dan bergumam pelan. "No.. Nobel?"
Akupun tersenyum. Akhirnya dendamku terbalaskan.
GRAB!!!
Ah... ta-tanganku!? Dia menarik tanganku!!
"Maaf..." ujarnya pelan.
******** 
Setelah semua ingatan kembali... akhirnya genggaman tangan kami terlepas juga.
"Akhirnya lepas juga ya..." ujarku pelan memecah suasana hening.
"Ya..  lihat kita, udah mulai menghilang juga." balasnya. Aku melihat  kakiku  yang terlihat transparan. Ah... mungkin ini sudah waktunya.
"Sejujurnya..."  gumam Revan. "Gue gak ngerti semua ini. Kesedihan,  kemarahan,  penyesalan, dan rasa bersalah... Itu semua gak gue rasain  dalah hidup  gue," aku terdiam mendengar suaranya yang berat. "Kecuali  satu... gua  bahagia karena gua sudah diberi kesempatan untuk bertemu  dengan lu di  dunia ini..." lanjutnya.
Kini wajahku kembali memerah.  Entahlah, aku tak tahu perasaan apa  ini... tapi... yang pasti perasaan  benciku ke Revan hilang begitu saja.
"Untuk terakhir kalinya, mau gak pegangan tangan lagi sama gua?" ujarnya pelan sambil mengulurkan tangannya.
"Nggak  mau ah..." ucapku sambil tersenyum. "Nggak mau kalau untuk  yang  terakhir kali, tapi untuk selamanya..." kuraih tangannya sebelum  tubuh  kami menghilang dari dunia ini. 
******** 
 EPILOUGE
******** 
Terlihat  seorang gadis berparas manis yang tengah berdiri ditengah  rel kereta.  Ia menaruh bunga itu di rel, dan menggumamkan sesuatu.
"Revan,  Nobel... apa kabar? Semoga kalian baik-baik saja ya. Nobel,  kau tau?  Sebenarnya Revan tidak membencimu kok. Aku selalu menangkap  Revan yang  sering memperhatikanmu dari belakang. Aku tau, kalau Revan  menganggapmu  special. Makanya, aku rela melupakan Revan demi kamu  Nobel... Tapi  kenapa kalian pergi? Padahal aku berniat ingin menyatukan  kalian... Ah,  sudahlah. Mungkin kalian bisa bersatu sekarang, aku  yakin itu... See you  again, Revan, Nobel... semoga kalian bahagia..."





So sweet. . . Tp knp hrs meninggal T_T