Apalah Arti Menunggu part. 1

Friday, July 13, 2012


Matahari semakin meninggi dan cahayanya menyusuri permukaan laut. Bila matahari makin tinggi, maka laut akan memantulkan cahaya itu ke mata para nelayan di tengah lautan yang terus mendayung. Tali-tali pancing terikat kencang, menanti ikan-ikan datang mendekat. Mendatangkan harapan di hati nelayan untuk membawakan nafkah agar bisa membiayai keluarganya. Pemandangan itulah yang terasa mengikat dan menarik Faisal untuk pulang.

Telah dua jam pemuda berkulit putih ini menikmati kesibukan penghuni pantai Teratak. Menikmati dan mengenang suasana yang pernah ia rasakan dalam sepuluh tahun silam. Helaan nafas pelan meluncur dari bibir merahnya. Lelaki itu kembali mencicipi Kopi Susunya.

"Tambah ramai saja tempat ini," gumam lelaki itu dengan senyuman tipisnya.

"Maklumlah Mas, namanya saja kampung nelayan. Setiap harinya pasti selalu padat. Apalagi banyak penghuni baru yang singgah ke sini. Semakin padat deh daerah ini," sahut si pemilik kedai kopi di pinggiran jalan. Faisal hanya terdiam melamun mendengar ocehan si wanita desa. Pandangannya lurus menatap rumah-rumah kayu tersusun berhimpitan. Gulungan ombak setinggi gunung, perahu-perahu nelayan yang dipermainkan hamparan biru, kapak burung camar yang menukik mengejar mangsa, merupakan lukisan alam yang menjadi santapan matanya sepanjang hari, ketika ia menjadi bagian dari lukisan itu.

"Oh ya! Kamu kenal seseorang yang namanya Aditya? Anaknya pak Umar Khatib?" tanya Faisal tiba-tiba karena ia teringat oleh sahabatnya dimasa lalu. Kampung ini kecil, mungkin saja wanita itu dapat mengetahui keberadaan sahabatnya itu.

"Oh, yang kulitnya kuning langsat, badannya tinggi, tegap, dan ada bekas luka di pipi kirinya?" wanita itu menyebutkan ciri-ciri orang yang ditanya oleh Faisal tadi.

Faisal menganggukkan kepala. "Iya, benar! Apakah dia masih suka berlaut?" tanya Faisal lagi.

"Berlaut? Maksud Mas menjadi Nelayan? Orang sangar kayak dia gak mungkin melakukan hal terpuji seperti itu!" senyum mengejek semakin lebar terlihat dari bibir wanita itu.

"Maksud kamu? Saya nggak ngerti ucapan kamu..." tanya Faisal dengan kebingungan.

Wanita itu menghela nafas sesaat, lalu ia mulai bercerita. Bahwa Aditya yang dimaksud oleh Faisal, adalah penguasa daerah ini. Menguasai para nelayan, memeras dan mempunyai anak buah yang dijadikannya tukang pukul. Bahkan sang Ayah dari wanita itu pernah menjadi korban kekejian Aditya. Perahu satu-satunya yang dimiliki oleh keluarga mereka, dirampas begitu saja oleh anak buahnya Aditya.

Faisal bergidik ngeri mendengar cerita dari pemilik kedai tersebut. Dia tak menyangka bahwa sahabatnya dulu yang baik, bisa menjadi seseorang yang seperti itu. Untuk memastikan, Faisal langsung beranjak dari kedai kecil itu untuk segera menemui sahabatnya.

Ditatapnya lautan yang bergelora. Terlihat perahu-perahu nelayan yang dibuai oleh ombak. Lalu, ia mendengar deru ombak dan menyaksikan dirinya bersama Aditya yang sedang berada diatas perahu milik Aditya. Suasana yang selalu ia jumpai dalam mimpinya selama sepuluh tahun di tanah perantauan.

"Benarkah semua itu hanya mimpi dan kenangan semata?" keluh Faisal yang diselingi oleh angin pantai.
___________________________________________
Pukul setengah sebelas pagi di sudut kampung Teratak. Terdapat beberapa pemuda yang tengah berkumpul membicarakan sesuatu. Ditengah, terdapat seorang Pria yang berbadan tegap dan terlihat tampan tengah mengelus barutan panjang di pipi kirinya. Sedangkan orang-orang yang ada di kiri kanannya menunjukkan sikap hormat.

"Bagaimana hasil hari ini?" tanya Pria yang berada ditengah dengan tatapan tajamnya.

"Sangat bagus, Bos! Kami lihat nelayan-nelayan membawa ikan dalam jumlah yang banyak. Pastilah kita mendapatkan uang berlipat! Lalu ada Soni yang berada di lapangan untuk mengurus uang keamanan. Sedangkan Darman mengadakan transaksi penjualan ikan dengan pembeli dari kota. Terus ada Adi dengan ketiga temannya yang mengurus pengiriman peti-peti minuman untuk pelanggan. Sedangkan putauw belum datang dari pusat, kemungkinan dua hari lagi sampai ditangan perantara. Semuanya aman dan terkendali, Bos!" ujar lelaki yang berada di samping kirinya, nama lelaki itu adalah Ambi.

Bos mereka yang tak lain adalah si Aditya, menarik garis bibirnya sambil mengepulkan asap rokok. "Kerja bagus!" ujarnya dengan suara keras. Adit berdiri dari tempat duduknya dan berjalan memandang anak buahnya satu persatu. Tiap sebentar, dielusnya bekas luka yang ia punya di pipi kanannya. Sebuah luka yang menandakan keperkasaannya melawan pimpinan geng kampung sebelah, membuat orang-orang takut dan hormat pada Adit. Luka itu membuatnya kuat dan tangguh. Namun, ia bisa menjadi seseorang yang kuat bukan karena geng kampung sebelah. Dia merasa kuat, karena dulu lukanya itu ia dapat dari melindungi seseorang yang disayanginya. Dan hal itulah yang bisa membuatnya menjadi kuat.

"Bos, sebenarnya kita mempunyai sedikit masalah..." bisik seorang lelaki berkumis melintang dari sisi kanannya Adit. Lelaki itu mengatakan bahwa beberapa nelayan mulai membengkang, walaupun secara tidak langsung. Para nelayan terlihat enggan menjual ikan-ikannya pada anak buahnya Aditya. Bahkan mereka mendengar bisikkan para nelayan, bahwa mereka ingin menjual hasil tangkapan ikan secara langsung ke kota bahkan mereka berencana membentuk koperasi nelayan.

"Apa kamu tidak dapat mengatasi masalah sepele itu!?" bentak Aditya sambil menggebrak meja ketika mendengar kabar dari salah satu anak buahnya. Semuanya terdiam mendengar Adit yang mengamuk.

Sebenarnya, para Nelayan mendapatkan amanat dari pendatang baru dari kota, yang tak lain adalah Faisal. Lelaki itu memberikan nasihat-nasihat baik agar para nelayan tak akan diinjak-injak oleh siapapun, karena mereka juga mempunyai hak. Hanya saja, pihak Aditya maupun anak buahnya belum mengetahui aksi Faisal.

Sepeninggalan para pemuda dari kamarnya Adit, Pria itu kembali duduk ditempatnya. Ia kembali membelai pipi kanannya dengan mata yang redup. Ada sesuatu yang tergores di dada Adit ketika ia membelai luka itu. Sesuatu yang disebut dengan kerinduan.

Tidak dapat dicegah. Ingatannya tentang masa lalu kembali bermunculan layaknya air yang mengalir. Ia teringat oleh sahabat masa kecilnya, yaitu Faisal. Masa-masa itu adalah masa yang paling indah. Demikian yang selalu ia ucap pada dirinya sendiri. Masa dimana ia dan anak-anak lainnya bebas bermain tanpa memikirkan apapun.

"Andaikan aku bisa kembali pada masa itu..." keluhnya dalam hati sebelum ia mengenang masa-masa indahnya.
___________________________________________
FLASHBACK

Matahari pagi tengah bersinar dengan ceria. Angin laut bertiup lembut dan menenangkan. Dengan perlahan, Adit membuka kedua kelopak matanya dan dilihatnya seorang laki-laki berkulit putih dan berwajah manis. Adit menggeliat malas dan bangkit dari pangkuan lelaki berwajah manis itu.

"Nyenyak sekali tidurmu..." tegur lelaki manis itu pada Adit.

"Hmmm... Paha kamu enak dijadiin bantal sih, hehehe," ledek Adit sambil menguap. Sedangkan yang diledeknya hanya cemberut sambil memalingkan mukanya kearah lain. "Makasih ya Fai, udah mau dijadiin bantal...hehehe," goda Adit lagi sambil merangkul sahabatnya itu. Faisal masih terdiam dan tak mau menatap Adit, mungkin dia kesal karena menunggu Adit tidur selama satu setengah jam.

"Jangan marah dong... Kalau nggak, nanti gak aku ajak kelaut lho malem ini," ancam Adit dengan cengiran khasnya. Ternyata ancamannya Adit berhasil membuat Faisal menatap kedua matanya.

"Nggak mau!! Iya deh, aku nggak ngambek lagi kok! Aku mau ke laut!" seru Faisal dengan semangat yang membara. Adit hanya bisa tertawa mendengar suara lelaki disebelahnya, dia pun tertawa kecil sambil mengelus kepala sahabatnya itu.

Malamnya, mereka mengarungi lautan ditemani oleh dinginnya angin malam dan sinar rembulan yang cerah. Adit menatap jauh di kilauan laut. Dimana terlihat barisan kkeinginannya sejak kecil. Menyelesaikan sekolah hingga SMA, lalu masuk ke akademi pelayaran. Ia akan menjadi pelaut yang tangguh dengan kapal besarnya mengiringi samudera. Seragam taruna melekat di badannya membuat ia bertambah gagah. Lalu ia akan kembali ke rumah, membawa makanan yang enak-enak, pakaian yang bagus-bagus, juga oleh-oleh dari tempat tugasnya untuk kedua orangtuanya.

Tapi, tiba-tiba semua gambar yang nampak di permukaan laut menjadi pudar. Dilihatnya bayangan nyata seorang laki-laki berwajah tampan. Dia hanya mengecap pendidikan sampai kelas dua SMP karena kedua orangtuanya telah meninggal dunia disaat mereka mencari nafkah. Air muka kecewa terlukis diwajah Adit. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan butiran kristal bening dari pelupuk matanya.

Tak lama, seekor burung kecil tampak terbang dari arah utara menuju perahu mereka. Terbang merendah di permukaan air dan sekali-sekali terdengar siulannya. Burung itu hinggap di samping Adit seakan ingin menghibur kepiluan pemuda itu. Tangan kiri Adit terulur hendak menggapainya. Namun sayang, sang burung terkejut dan terbang menjauh hingga lenyap dari pandangan.

Setelah burung kecil itu pergi, lelaki yang berada disebelahnya Adit mulai melantunkan sebuah lagu yang tak mempunyai lirik. Adit tersenyum kecil memandang sahabatnya itu. Walaupun Adit sudah tidak memiliki harta, maupun orang tua... Tetapi ia masih memiliki Faisal, sahabat yang sangat disayanginya.

"Fai, menurutmu... Aku ini bagaimana orangnya?" tanya Adit tiba-tiba. Alunan Faisal berhenti karena mendengar pertanyaan Adit. Ia menundukkan kepalanya, menatap indahnya laut dimalam hari. Rambutnya dipermainkan angin laut yang nakal. Tiap sebentar tangannya memegang rambutnya agar tidak menutupi wajahnya. Adit menjadi gemas melihat sikap sahabatnya itu. Tangannya hampir terulur membelai rambut Faisal, namun ia mengurungkan niatnya itu. Karena ia tahu kalau perbuatannya itu akan dianggap aneh oleh Faisal.

"Hei, kamu belum jawab pertanyaanku..." ujar Adit kembali setelah sekian lamanya membisu.

Faisal tersenyum kecil. "Apa ya? Kamu tuh orangnya ramah, baik hati, setia kawan, terus..." ia memutuskan ucapannya dengan sengaja. Kedua matanya yang lebar menatap wajah Adit dengan sekilas.

"Terus apa? Kalau bicara jangan setengah-setengah dong!" ucap Adit yang terpancing penasaran.

"Ih, kamu tuh ingin dipuji terus ya!" ledek Faisal dengan senyumnya yang semakin mengembang.

Adit semakin terpesona melihat semua gerakan sahabatnya itu. "Daripada kamu, sukanya bikin orang penasaran aja... Ayo cepet lanjutin kata-katamu tadi! Atau nggak aku kelitikin nih!" ancam Adit sambil tersenyum nakal.

"Awas aja kalau berani! Aku bakal lari terus dari kamu!" balas lelaki itu dengan seringainya.

"Kalau kamu lari ya bakalan aku kejar terus!" ujar Adit kembali.

"Kalau aku lari sampai keujung dunia? Apa iya kamu bakal ngejar aku?" tanya Faisal lagi sambil memiringkan kepalanya.

"Pokoknya aku janji, sampai kemanapun juga... Pasti aku bakal nangkep kamu! Jangan remehin aku deh, hehehe," seru Adit dengan antusias. Baginya, ini bukanlah canda gurau biasa. Jika Faisal benar-benar lari darinya, dia akan pastikan bahwa dia akan menangkap Faisal kembali berada disampingnya.

Kedua remaja itu saling memandang satu sama lain. Desah angin terdengar merdu ditelinga mereka. Deru ombak memecah ke Pantai memeriahkan alunan musik di hati Adit. Semuanya terlihat indah dimata Adit, jika dia bersama Faisal.

Hari berikutnya, Adit mendengar kabar buruk tentang Faisal yang tengah dikeroyok oleh geng preman dari desa sebelah. Tanpa basa-basi, ia segera menuju kelokasi dimana Faisal berada. Saat itu, dia tak memikirkan apapun kecuali Faisal. Dia tak mau kehilangan seseorang yang disayanginya lagi.

Disisi lain, Faisal tengah menghadapi preman-preman itu sendirian. Tubuhnya terjatuh, namun ia berusaha bangkit kembali. Serangan Faisal kali ini hanya menemui tempat kosong, membuat tubuhnya goyah. Belum sempat ia memperbaiki posisinya, sebuah pukulan mendarat tepat diperutnya Faisal. Sebuah cairan berwarna merah pun keluar dari mulut Faisal, tubuhnya seketika itu bergetar kuat seperti kehilangan tenaga. Ketika Faisal tumbag kembali, salah seorang Preman mengeluarkan pisau cutternya dan berlari menuju Faisal.

Disaat genting itu, tiba-tiba datanglah seorang lelaki bertubuh tegap yang melindungi Faisal. Siapa lagi kalau bukan Aditya?

"Jangan pernah kalian menyentuhnya lagi! LAWAN AKU SEKARANG!" teriak Adit dengan kerasnya. Faisal hanya bisa menonton Adit yang membabi buta menyerang preman-preman itu. Faisal ingin sekali menghentikan Adit, namun suaranya tak didengar oleh Adit.

Adit semakin buas dan menerkam pimpinan geng yang berdiri tak jauh darinya. Kebuasan serangan Adit terlihat jelas pada kedua kepalan tangannya. Dengan amarah yang meledak-ledak, pukulan dan cakaran Adit mencoba mengenai wajah pimpinan geng itu. Namun hanya sedikit mengelak kesamping, tangan Adit luput mengenai lawan. Ia kembali menyerang walaupun serangannya tadi sedikit melesat, dia tak perduli dengan cutter yang telah ada dalam genggaman lawan. Hingga dirasakannya perih di pipi kanannya terkena sabetan cutter.

Lawannya tersenyum sinis dan memandang Adit enteng. Darah merah segar menyelimuti permukaan pisau pendeknya. Faisal berkali-kali meneriakan nama Adit dan mencoba menenangkan perkelahian mereka... Tapi tetap saja tidak berhasil. Andai saja ia mempunyai tenaga lebih untuk berdiri.

Tubuh Adit kembali mengejang menahan amarah. Perih luka dipipi sebelah kanannya menambah kemarahan pemuda itu. Seperti benteng yang terluka, ia mengamuk dan menyerang. Gemuruh besar tercipta saat pukulan-pukulan dan tendangan Adit mampu menguak dinding pertahanan lawan. Bahkan kedua tangannya mampu mendarat telak di dada pimpinan geng tersebut. Lalu disusul dengan tendangan keras di tempurung lutut. Erangan sakit keluar dari mulut pimpinan geng dari desa sebelah, tubuhnya jatuh tergolek tidak mampu diangkat. Adit bersiap-siap untuk menendang dan menginjak-injak lawannya, namun tiba-tiba saja ada seseorang yang memeluknya dari belakang.

"Hentikan Dit... Nanti dia bisa meninggal! Kamu gak mau kan jadi seorang pembunuh!?" cegah Faisal yang sudah bersusah payah untuk berdiri. Melihat keadaan Faisal, Adit segera mengurungkan niatnya untuk membunuh preman itu.

"Hari ini aku mengampunimu! Tapi ingat, bila suatu saat kamu ganggu dia lagi, aku janji akan memecahkan kepalamu itu!" ancam Adit dengan tatapan tajamnya. Sang lawan tak mampu untuk menjawab perkataan Adit, dia benar-benar dibuat lumpuh oleh Aditya.

Aditya menuntun Faisal untuk berjalan menuju rumahnya. Mungkin semenjak kejadian itu, dia sering sekali merasa takut kehilangan Faisal. Sekali saja Faisal telat menemuinya di tepi pantai, pasti si Adit langsung merasa cemas tak menentu. Hingga suatu malam ketika mereka sedang duduk menatap pantai, Aditya mempunyai sebuah ide.

"Hei, mengapa kita tidak membuat upacara janji yang disaksikan penguasa laut?" tanya Adit dengan senyuman lebarnya. Faisal memandang sahabatnya dengan bingung, namun detik berikutnya ia kembali memperlihatkan senyum manisnya.

"Mengapa tidak? Kurasa itu usul yang paling bagus!" balas Faisal. Merekapun melangkah menatap laut, dan berhenti di pasir pantai yang basah karena buih-buih air laut. Masing-masing mengangkat lengan kanan mereka. Adit menusuk jari telunjuknya dengan belati sampai mengeluarkan darah yang ditetesi ke atas pasir. Kini bergiliran dengan Faisal yang mengikuti hal yang sama seperti Adit. Buih ombak membasahi tetesan darah mereka.

"Kami berjanji, untuk saling membantu dan bekerjasama dalam waktu apapun. Bila kami berpisah tempat dan waktu, maka kami tetap akan kembali ke pantai ini. Membangun kampung kami yang tercinta ini bersama-sama. Darah mengikat janji kami dan buih ombak sebagai saksi," ucap Adit yang diulang kembali oleh Faisal.

Upacara janji selesai. Mereka lalu menggenggam tangan dengan perasaan haru. Saat itu, terdengar suara keras dari hempasan ombak. Mereka serentak menoleh ke arah asal suara itu. Dan untu beberapa detik, Adit menyunggingkan sebuah senyuman. Ia percaya kalau penguasa lautan telah merestui ikrar yang baru saja ia ucapkan bersama Faisal.
___________________________________________
To be continued~

0 comments:

Post a Comment