"Adit! Bagaimana kondisinya? Masih utuh semua kan?" teriak si tuan rumah. Adit serta Faisal langsung tersadar setelah lama mereka saling bertatap-tatapan.
"Masih ku urus boss! Kalian masuk duluan saja, istirahat dulu!" ujar Aditya sambil masih berada di dalam truk.
"Oke!" jawab mereka sambil memasuki rumah besar itu.
Aditya kembali menatap sahabatnya dan berbicara dengan volume suara   yang  sangat kecil. "Dengar, sekarang kamu turun dari sini! Kamu ngerti   gak  sih? Tempat ini berbahaya! Ayo cepat turun dan naik ke mobilku  yang   warna hitam! Nanti aku nyusul!" ujar Aditya dengan nada khawatir.   Faisal  sempat terdiam melihat reaksi sahabatnya, berbeda jauh dari    perkiraannya. "Ngapain bengong? Ayo cepat keluar!" sambung Aditya dengan    nada yang nyaris tak terdengar.
Mendengar itu,  Faisal dengan perlahan turun dari truk itu dan segera   menuju mobil  Aditya. Sedangkan lelaki pertubuh tegap itu izin pulang ke   boss  besarnya dan kembali lagi kemobilnya.
"Kamu tuh kenapa  bisa-bisanya berada disana sih!? Kamu tau? Kalau  kamu  sampai ketauan  sama mereka, kamu bisa mampus ditangan mereka tau!  Coba  kalau gak ada  aku, nasib kamu gimana? Hah!?" Faisal terdiam  mendengar  sahabatnya  mengoceh.
"Sebenarnya... Semenjak aku pertama kali  menginjakkan kaki disini,  aku  sudah dengar banyak kabar tentangmu.  Terutama tentang bisnis ilegal  yang  tengah kau jalankan... Itu bisa  membuatmu jatuh di dalam gerigi  besi!  Kamu masih ingat kan, Dit? Dulu  kita benar-benar benci sama   preman-preman yang melawan rakyat lemah  seperti kita dulu! Apalagi   dengan obat-obatan terlarang... Benda itu  akan menghancurkan kampung   kita, Dit! Ingat janji kita? Bukankah kita  akan membangun kampung kita   bersama!?" kini Aditya lah yang terdiam  mendengar ocehan sahabatnya.   Pria bertubuh tegap itu mencoba  menenangkan emosinya.
"Sudahlah, tak usah diperpanjang lagi. Ini sudah takdirku..." ujar Aditya mencoba untuk menyelesaikan persoalan.
"Yang  seperti ini bukan takdir namanya! Dit, dengerin aku! Kamu masih   bisa  berubah dengan cara memilih jalan yang benar!" Aditya hanya   melenggos  tidak menjawab dan juga tidak membantah ucapan Faisal.   Diraihnya  setoples permen dan dibuka penutupnya.
"Ayo, makan permennya..." tawarnya mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sampai  Faisal turun dari mobilnya Aditya, pembicaraan itu terputus   begitu  saja. Disisi lain, bisnis Adit berjalan agak tersendat semenjak    orang-orang mulai mendirikan koperasi nelayan dan bersama-sama menjual    ikan ke kota. Keadaan itu membuat anak buahnya Adit resah. Terutama    karena pendatang itu dilindungi bos mereka, yaitu Aditya sendiri.    Beberapa kali mereka minta izin untuk memberesi Faisal yang dianggap    mengganggu bisnis mereka.
"Dengar kalian semua! Aku  tidak mau mendengar kalian menyentuhnya,   walaupun hanya seujung  jaripun!" ancam Aditya membuat mereka kembali   surut. Namun sayang,  nafsu kebencian mereka tak surut begitu saja.   Justru karena terhalang,  nafsu membunuh mereka semakin menggebu-gebu.   Beberapa anak buah  Aditya datang ke kota untuk melaporkan hal tersebut   pada boss besar  mereka.
"Baiklah, masalah ini dapat aku tangani.  Pulanglah!" ujar sang boss   besar. Dia mengenal sifat Aditya dan  kehebatannya dalam memimpin   bisnisnya, makanya ia sangat percaya pada  Adit. Begitu juga mengenai   hubungan Adit dengan Faisal di masa lalu.  Ia sangat paham mengapa Aditya   begitu keras melindungi sahabatnya itu.  "Tapi aku harus   memperingatinya, jangan sampai ia terhanyut masa lalu  sehingga membawa   bisnis ke jurang kehancuran!" gumamnya sendiri.
Lalu  pada suatu malam, Faisal kembali masuk diam-diam ke dalam  gudang.   Tetapi baru saja ia menginjakkan kaki, terdengar seseorang yang  tengah   berbicara.
"Akhirnya kau tertangkap, orang kota  sialan!" ucap Toni, salah satu  anak  buahnya Aditya. "Kau akan  mengalami malam teramat panjang, bung!"   sambungnya kembali dengan nada  yang gembira.
Lima preman langsung mengepung tubuh  Faisal. Pukulan beruntunpun   diterima oleh Faisal dari Toni dan  lainnya. Disusul dengan tendangan   keras di tungkai kakinya. Tubuhnya  yang kurus diringkus dan diikat dalam   gudang. Beberapa kali ia  memuntahkan darah segar dan tidak sanggup   menahan sakit sehingga  pingsan. Anak buah Aditya tidak mau melihatnya   beristirahat sejenak.  Mereka menyiapkan seember air lalu disiram ketubuh   Faisal agar ia  bangun. Kembali ia menerima siksaan yang serupa.   Tubuhnya lunglai tak  bertenaga, seakan seluruh tulang-tulang dalam   dagingnya dicabut  keluar. Anak buah Adit berpesta meriah malam itu.   Melampiaskan  kebencian mereka selama ini.
Pagi hari telah datang.  Cahaya matahari menyilaukan kedua mata  Faisal.  Seluruh tubuhnya  meninggalkan bekas cambukan, pukulan,  tendangan, bahkan  ada sulutan  api rokok. Bibirnya kering pecah-pecah  merasakan kehausan.  Ia coba  menggerakkan tangan untuk melepaskan  ikatan. Namun ternyata  tubuhnya  telah lepas dari lilitan tali.
"Sudah bangun? Lukanya  masih sakit?" tanya seorang Pria yang tengah   duduk disampingnya.  Faisal melirik kearah sumber suara, seraut wajah   yang dikenalnya  membuatnya sedikit kaget. Ternyata ada Aditya yang   semalaman ini  memberantas anak buahnya sendiri sampai mereka terkapar   tak berdaya.
"Sudah  ku bilang kan? Jangan ikut campur urusanku! Sekarang aku masih   bisa  menolongmu, tapi nanti aku tidak tahu. Kau tahu? Kau telah  merusak   bisnisku di daerah ini. Membuatku mendapat peringatan dari  atasanku.   Makanya, dihari lain aku mungkin tak bisa menolongmu. Bahkan  menjadi   musuh besarmu! Cepat pergi dari sini! Kembali ke kotamu itu!"  ucapnya   dengan nada yang kasar. Namun yang dilakukan Faisal hanyalah  memegang   erat baju Aditya. Dia meringis kesakitan, namun ia ingin  mengucapkan   sesuatu.
"Tidak... Aku tak mau pergi..." ujar Faisal  dengan susah payah. "Aku   ingin menyadarkanmu, dan baru kita pergi dari  tempat ini. Dengarkan   aku... Bisnis... Bisnismu ini... Telah  dicurigai oleh pemerintah. Kau   terancam terjatuh dalam gerigi besi  itu! Kumohon, Aditya... Ikutlah   denganku!" ajak Faisal sambil terus  mencengram baju Aditya. Namun Aditya   melepaskan genggaman Faisal dan  berdiri untuk melangkah keluar gudang.   Pria tinggi itu melangkah tanpa  menghiraukan panggilan Faisal, dia   meninggalkan Faisal begitu saja  tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Hatinya kecewa  melihat kekerasan hati Aditya. Haruskah aku menggiring   sahabatku  sendiri ke gerigi besi? Tanyanya dalam hati setiba di kamar   sewaan.  Dikeluarkannya kartu identitas kepolisian dari dalam dompet.   Kembali  ia mengeluh.
Seakan diputar kembali di depan matanya  sebulan lewat saat ia  menghadap  komandan, dan diserahi tugas membekuk  kawanan penyelundup  miras dan  obat-obatan terlarang di kampung  Teratak.
"Berdasarkan file di tangan kami, Letnan orang  yang tepat untuk tigas   ini. Anda berasal dari daerah sasaran,  tentunya lebih mengenal lokasi   dan dapat bergerak bebas!" ucap  komandannya saat itu.
Selama berhari-hari Faisal  mempertimbangkan tugas beratnya. Ia tahu   sasaran operasi mereka adalah  Aditya. Sahabatnya sendiri. Kebimbangan   melanda dirinya. Sampai  akhirnya ia menyanggupi tugas itu, asalkan ia   diberi kesempatan untuk  menyadarkan Aditya. Nyatanya keinginan Faisal   tidak dipercayai. Ia  harus menyaksikan penangkapan Aditya pada hari itu.
Diraih  telepon di atas meja dan ditekan sederetan nomor. "Lapor!  Semua  telah  siap! Sasaran tepat di depan mata!" lapornya pada  pasukannya.
Anak  buah Aditya kelabakan ketika mendapat serangan mendadak dari    kepolisian di markas mereka. Tergesa-gesa mereka menyelamatkan diri.    Letupan senjata api berkumandang di udara. Perlawanan sengit dilakukan    oleh anak buah Aditya dan anak buah Faisal. Tembak menembak tidak    terelakkan. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Sirene meraung di    sepanjang jalan, menerobos di sela-sela rumah penduduk.
Hingga akhirnya, Aditya datang berhadapan dengan Faisal.
"Jangan bergerak!" bentak Faisal sambil menodongkan senjata apinya ke kepala Aditya. Pria berbadan tegap itu tersenyum kecil.
"Jika  aku mati ditanganmu, aku rela... Bunuhlah aku sekarang," ujar   Aditya  sambil menggenggam erat tangan Faisal yang tengah memegang   pistolnya.  "Tunggu apa lagi? Ayo, bunuh aku..." sambungnya pelan.
Kedua  sahabat itu saling berpandang-pandangan. Menyesali putaran  waktu   sebagai penyebab semua kekacauan ini. Lintasan cerita masa lalu   terlihat  di depan mata. Faisal menurunkan pistolnya, ia tak sanggup   menahan  kepedihan hatinya. Ia jatuhkan senjatanya kelantai semen, dan   memeluk  erat sahabatnya itu. Dalam pelukan Adit, Faisal menangis   tertahan...  Nyaris tak terdengar. Adityapun membalas pelukan Faisal.   Mereka seakan  tidak memperdulikan salakan senapan dan hentakkan kaki   melarikan diri di  sekitar mereka.
Tiba-tiba saja  Aditya tertegun. Matanya melihat ke ujung laras  senjata  Toni yang  mengarah pada punggung Faisal. Dadanya berdegup  kencang dan ia   bergerak cepat menukar posisi sebelum senjata itu  meletus dan melukai   seseorang yang sangat disayanginya.
Sesuatu yang panas  menjalar dalam tubuhnya. Ia tidak bisa menahan   kepalanya yang  berputar. Tubuhnya bergetar hebat. Rahangnya gemelutuk.   Terasa sesuatu  yang pedar merambat ke seluruh urat nadi. Pandangannya   mulai kabur,  hanya terlihat bayangan Faisal yang membalas tembakan Toni   dan sesosok  tubuh limbung, jatuh terkapar di lantai.
Inikah akhir dari sebuah penantiannya?
Jadi,  apalah artinya ia menunggu selama 10 tahun jika ia hanya bisa    melihatnya dalam waktu tiga hari saja? Apakah Aditya menyesalinya?
Jawabannya adalah tidak.
"Jika  ini adalah hari terakhirku, aku bersyukur.... Setidaknya aku  bisa   tertidur dengan tenang di atas pangkuan orang yang aku sayangi,   melebihi  diriku sendiri..." ujar Aditya dalam hatinya sembari menahan   sakit.
"Kenapa... Kenapa kau selalu melindungiku? Kau  bilang sendiri  padaku...  Kalau kau tak akan melindungiku lagi, kan!?"  ucap Faisal  terisak sambil  merangkul Aditya dengan lemas.
Aditya  hanya tersenyum lemah menanggapinya. Faisal masih mencoba  untuk   berbicara pada Aditya. "Kau lupa janji kita yang telah disaksikan  oleh   penguasa laut? Kita akan selamanya bersama kan!? Iya kan!?"  sepertinya   Aditya ingin membalas ucapan Faisal, namun ia tak mampu.  "Kumohon,   Dit... Bertahanlah! Sebentar lagi dokter akan datang  menyembuhkanmu!"   kini suara Faisal semakin terdengar pilu. Air matanya  tak bisa ia tahan   lagi.
Aditya menatap kedua bola mata sendu milik  Faisal. Tangan kanannya   mencoba meraih pipi sebelah kanan sahabatnya  itu. "Aku janji akan...   Mengajakmu..untuk berperahu lagi..seperti..  Dulu..." ujarnya sebelum   tubuhnya melonjak sesaat dan akhirnya ia  diam.
Debur ombak terdengar perlahan di telinga. Burung  camar mencicit  lirih  menunggu ikan-ikan keluar dari dasar laut.  Kampung Teratak  terlihat  menyayup di ujung mata. Dan Faisal... Ia  terus meneriakkan  nama  sahabatnya itu, berharap kalau dia akan membuka  kedua matanya  kembali.
-------------------------------FIN?





GAK MAU TAMAT!! LANJUTKAAAAAAAAAAAAAAAN